content top

Minggu, 26 Februari 2012

Ilalil Hadits


Oleh       : Asep Nahrul M ( PBSB 2010 )
Editor       : Fairuz Kholili



Teori ‘Ilalil Hadits

A. Definisi

            Secara leksikal, kata علل merupakan bentuk plural dari kata  علة  yang berasal dari kata عل -  يعل yang memiliki beragam makna, diantaranya penyakit, beban, halangan, dst.[1] Dalam terminologis ahli hadits, konsep ‘ilal memiliki beberapa pemaknaan, yaitu  : [2]
1. Menurut Mayoritas : Sebab-sebab tersembunyi yang tidak terjangkau oleh aktivitas Jarh yang dapat menodai kesahihan suatu hadits, sedangkan secara lahiriyah ia terlihat selamat dari sebab-sebab tersebut.
2. Sebab-sebab yang bisa melemahkan suatu hadits, seperti men-jarah perawi hadits disebabkan berdusta, pelupa, lemah ingatan, dst.
3. Menurut al-Khalili : Sebab-sebab yang tidak berimplikasi pada pencemaran kesahihan suatu hadits, seperti hadits yang di-maushulkan oleh perawi tsiqah dan di-mursal-kan oleh yang lainnya.
4. Menurut At-Tirmidzy : ‘Illat juga mencakup konsep nasakh, dalam artian nasakh merupakan ‘illat dalam pengaplikasian sebuah hadits.
            Berdasakan pemaknaan mayoritas ahli hadits, ranah kajian ‘illat tidak mencakup hadits munqathi’, haditsh yang dalam riwayatnya terdapat kesamaran (majhul) dan hadits-hadits dla’if lainnya, karena ranah kajian ‘illat ini adalah ruang yang tidak terjangkau oleh aktivitas jarh-ta’dil. Ia merupakan ilmu tersendiri yang sangat mendalam dan misterius (aghmadlul ‘ulum wa adaqquha ) yang hanya berkaitan dengan hadits-hadits sahih/hasan.
            Berbeda halnya dengan pemaknaan kedua yang mencakup hadits munqathi dan hadits dla’if lainnya. Adapun menurut madzhab al-Khalily, ‘illat ini juga mencakup hadits sahih, maka dalam terminologisnya dikatakan hadits sahih-mu’allal. Hal ini merupakan kebalikan definisi kedua. Dalam definisi pertama, suatu hadits secara dzahir dinyatakan “selamat “, namun ternyata setelah diadakan peneltian lebih lanjut ( ba’dal fahshi), hadits tersebut bermasalah. Dalam definisi al-Khalily, suatu hadits secara dzahir dinyatakan bermasalah, kemudian setelah diadakan penelitian, ternyata ia tidak bermasalah. Adapun dalam perspektif at-Tirmidzy, ‘llat dalam pengertian umum juga mencakup segala hal yang menyebabkan tercemarnya suatu hadits dan yang menghalangi pengaplikasiannya.[3] Di sini kami akan membatasi konsepsi ‘illat dalam perspektif Jumhur (mayoritas) ahli hadits.

B. Tempat-Tempat ‘Illat Hadits Beserta Contohnya
1. Illat Pada Sanad, inilah yang banyak terjadi, contoh Hadits Musa bin ‘Uqbah dari Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah : [4]
من جلس مجلسا فكثر فيه لغطه فقال قبل أن يقوم سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك واتوب إليك غفر له ما كان في مجلسه
                Al-Hakim meriwayatkan bahwa Muslim datang kepada Bukhari menanyakan hadits tersebut. Bukhari menjawab: “Hadits itu sungguh manis, di dunia ini saya hanya mengetahui hadits itu berkenaan dengan hal tersebut. Hanya saja ia mengandung ‘Illat. Sesungguhnya Musa bin Isma’il telah menceritakannya kepada kami, bahwa Wuhaib telah menceritakan kepada kami, katanya Sahl telah menceritakan kepada kami, dari ‘Aun bin Abdillah tentang pernyataannya. Musa bin ‘Uqbah tidak diceritakan pernah mendengar dari Suhail “.[5] ‘Illat jenis ini dikategorikan an-Nawawy sebagai sanad yang sahih secara lahiriyah dan di dalamnya terdapat perawi yang pertemuan dengan perawi sebelumnya tidak diketahui.
2. ‘Illat pada matan. Contohnya seperti hadits riwayat Ibrahim Thuhman dari Hisyam bin Hisan dari Muhammad bin Sirrin dari Abu Hurairah : [6]
إِذا استيقظ أحدُكُم مِن منامِهِ فليغسِل كفّيهِ ثلاث مرّاتٍ قبل أن يجعلهُما فِي الإِناءِ ، فإِنّهُ لا يدرِي أين باتت يدُهُ ، ثُمّ لِيغترِف بِيمِينِهِ مِن إِنائِهِ ، ثُمّ لِيصُبّ على شِمالِهِ فليغسِل مقعدتهُ.

Abu Hatim mengatakan bahwa kalimat لِيغترِف بِيمِينِهِ ..الخ  , semestinya merupakan perkataan Ibrahim bin Thuhman yang menyambungkan pernyataannya dengan hadits, sehingga pendengar tidak bisa membedakannya (hadits mudraj).
3. ‘Illat pada sanad dan matan. Contoh seperti Hadits Baqiyyah dari Yunus dari az-Zuhry dari Salim dari Umar dari Rasulullah Saw : [7]
من أدرك ركعةً مِن صلاةِ الجُمُعةِ وغيرِها فقد أدرك
Abu Hatim mengatakan bahwa ini merupakan kesalahan pada sanad sekaligus matan, yang benar adalah Az-Zuhri dari Abu Salmah dari Abu Hurairah dari Nabi Saw, ia bersabda:
من أدرك مِن صلاةٍ ركعةً فقد أدركها.

C. Ragam ‘Illat Ditinjau dari Tempat dan Implikasinya Terhadap Suatu Hadits

            Secara umum ‘illat ditemui pada sanad dan terkadang juga terdapat dalam matan. Ketika ‘illat ditemui pada sanad atau matan, maka ia bisa berimplikasi pada pencemaran sanad saja, matan saja, sanad & matan bersamaan, atau sama sekali tidak berdampak apa-apa. Oleh karenanya, Íllat terbagi menjadi enam bagian : [8]
1.      ‘Illat pada sanad dan tidak berimplikasi apa-apa. Misalnya seperti hadits yang diriwayatkan oleh seorang mudallis (perekyasa) dengan án’anah. Hadits semacam ini tidak boleh langsung diterima, sampai ditemukan dari jalur lain yang menjelaskannya dengan sima’, maka ‘illat semacam ini tidak berimplikasi apa-apa.
2.      ‘Illat pada sanad dan hanya berimplikasi pada sanad, tidak pada matan. Misalnya hadits Ya’la bin ‘Ubaid dari Tsauri dari ‘Amr bin Dinar dari Ibnu Umar dari Nabi Saw.:
Dua orang yang berjual-beli diperbolehkan memilih (khiyar). Ternyata Yahya melakukan kesalahan dalam menyebut ‘Amr bin Dinar, padahal yang sebenarnya ialah Abdullah bin dinar sebagaimana dirwayatkan para Imam Ashab Tsauri.
3.      ‘Illat pada sanad yang berimplikasi pada keduanya (sanad & matan). Misalnya ditemukan kemursalan, kemauqufan, atau penggantian perawi dla’if dengan perawi tsiqah. Contohnya sebagaimana terjadi Abu Usamah Hamad bin Usamah al-Kufy, (seorang yang tsiqah), dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir (seorang tsiqah dari Syam). Ia (Abdurrahman) datang ke Kufah, lalu penduduk menulis darinya, sedangkan Abu Usamah tidak mendengar darinya. Kemudian setelah itu datang Abdurrahman bin Yazid (seorang perawi dla’if di Syam), Abu Usamah mendengar darinya, ia mengira bahwa ia adalah Ibnu Jabir, maka ia selalu menisbahkan hadits kepadanya. 
4.      Illat pada matan dan tidak berimplikasi apa-apa. Yang termasuk kategori ini misalnya seluruh perbedaan redaksional dalam hadits Shahihain, jika mungkin untuk dikompromikan, maka ia dikembalikan pada satu makna saja.
5.      Illat pada matan yang hanya berimplikasi pada matan, tidak pada sanad. Misalnya hadits yang hanya ditakhrij oleh Muslim dari Anas dengan lafadz yang jelas tentang peniadaan basmalah. Padahal mayoritas meriwayatkannya dengan tidak menceritakan basmalah. Para Ulama menanggap bahwa redaksi tersebut diriwayatkan secara bil-ma’na.
6.       ‘Illat pada matan yang berimplikasi pada keduanya (sanad & matan). Misalnya suatu hadits yang diriwayatkan seorang perawi secara bil-Ma’na yang dalam anggapannya lafadz itu adalah salah dan yang dimaksud adalah lafadz yang selainnya.


D. Jenis-Jenis ‘Illat Hadits

            Menurut al-Hakim, ‘illat hadits terbagi menjadi 10 jenis : [9]
1.      Sanad yang secara lahiriyah terlihat sahih, namun di dalamnya terdapat perawi yang pertemuan dengan perawi sebelumnya tidak diketahui.
2.      Suatu hadits yang mursall di satu sisi yang diriwayatkan oleh rangkaian perawi tsiqah dan di satu sisi di-musnad-kan oleh suatu jalur yang sahih secara lahiriyah.
3.      Hadits yang telah dihafal dari sahabat, dan diriwayatkan dari orang lain karena faktor perbedaan geografis para perawinya. Seperti riwayat orang-orang madinah dari orang-orang kuffah.
4.      Hadits yang telah dihafal dari sahabat, dan diriwayatkan dari tabi’in yang dianggap dapat menjelaskan kesahihannya, bahkan tidak diketahui jalur darinya.
5.      Hadits yang diriwayatkan secara ‘an’anah, dan diantara rangkaiannya terdapat perawi yang gugur yang ditunjukkan oleh jalur lainnya.
6.      Pertentangan antara ber-isnad atau tidaknya seorang perawi, sedangkan berdasarkan apa yang dihafal ( mahfudzh ‘anhu ) menunjukan ketiadaannya.
7.      Perbedaan dalam penamaan guru seorang perawi atau tentang kemajhulannya.
8.      Seorang perawi merwayatkan hadits dari seorang yang ia temui dan secara langsung mendengar darinya, namun ia tidak mendengar beberapa hadits tertentu. Ketika ia meriwayatkan hadits tersebut tanpa perantara, maka ‘illatnya adalah ia tidak pernah mendengar hadits tersebut dari orang itu.
9.      Jalur suatu hadits yang cukup populer, salah satu perawinya meriwayatkan suatu hadits dari jalur yang berbeda dengan jalur tersebut, kemudian seorang perawi dalam jalur tersebut terkena wahm (tuduhan / sangkaan).
10.   Seorang perawi meriwayatkann hadits marfu’ dari suatu jalur dan hadits mauquf dari jalur lainnya.
Untuk contoh masing-masing insyaAllah akan diurai pada pertemuan berikutnya terkait praktek teori ‘Ilalil Hadits.
Ibnu Rajab membagi jenis ‘Illat secara global kedalam dua bagian : [10]
A. ‘Illat Pada Sanad
1.      Menegasikan as-Sima’ yang jelas dengan án’anah
2.      Penggantian sebagian atau seluruh sanad
3.      Me-rafa’kan yang mauquf, me-washalkan yang mursall
4.      Mengumpulkan hadits dari beberapa guru dengan satu redaksi yang sama.
5.      Illat (yang menghalangi) Pencacatan Rawi

B. ‘Illat pada matan
1.      Imposibilitas makna hadits, baik sebagian atau keseluruhannya.
2.      Perubahan redaksional (tahrif).
3.      Idraj (Menyisipkan redaksi lain ke dalam hadits).
4.      Redaksi hadits yang tidak layak diucapkan seorang Nabi.
5.      Pertentangan dengan pesan yang dikehendaki oleh perawi sebelumnya.
E. Metode

Beberapa langkah sederhana dalam mengetahui ‘illat hadits diantaranya :
a.      Meneliti permasalahan para perawi hadits.
b.      Mengumpulkan jalur-jalur sanad hadits.[11]
c.       Meneliti kitab-kitab ílal dan su’alat hadits
d.      Mengkomparasikan kitab-kitab Rijal Hadits, dll.

F.   Tokoh & Kitab Terkait

Ilmu ini telah mulai disusun sejak abad kedua dan di permulaan abad ketiga. Tetapi, pada waktu itu belum lagi ditertibkan. Kemudian barulah ditertibkan menurut tertib bab dan menurut tertib musnad.
Diantara kitab yang paling tua dalam bidang ini, ialah: Al-Tarikh wal ‘ilal, karya Al-Hafidz Ibnul ma’in dan Kitab Mu’alal, Hadits karya Imam Ahmad.
Kitab-kitab ‘Ilalul Hadits yang muncul sebelum abad ke IV antara lain ialah:
1.      Al-Tarikh wal ‘ilal, karya Al-Hafidz Ibnul ma’in
2.      ’Ilalul Hadits, karya imam Ahmad bin Hanbal
3.      Al-musnadul Mu’alal, karya Al-Hafidz Ya’qub bin Syaibah As-Sudusy Al-Bashry
4.      Al-‘Ilal, karya Al-Imam Muhammad bin Isa At-Turmudzy
Kemudian kitab-kitab ‘Ilalul Hadits yang lahir sesudah abad tersebut ialah;
5.      ‘Ilalul Hadits, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razy
6.      Al-‘Ilal al Waridah fil Ahadisin Nabawiyah, karya Hafidz Ali bin Umar Ad-Daruquthny.


[1]  Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, Juz. 11, hlm. 467, CD Maktabah Syamilah
[2]  Abu Hasan ‘Ali bin ‘Umar Addaruqutny, al-‘Ilal, hlm. 37, CD Maktabah Syamilah
[3]  Al-‘Ilal, hlm. 39
[4]  Hadits ini sahih menurut syarat Muslim, diriwayatkan oleh Ahmad 494, Tirmidzy 4333, Nasai 394, dll.
[5]  Al-Hakim, Ma’rifatu Ulumil Hadits, hlm. 174, CD Maktabah Syamilah. Tadrib ar-Rawy, hlm. 259
[6]  Ibn Aby Hatim, ‘Ilal al-Hadits, hlm. 65, CD Maktabah Syamilah
[7]Ilal al-Hadits, hlm. 172
[8] Al-‘Ilal, hlm. 40
[9]    Jalaluddin As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawy, (Kairo: Darul Hadits, 2004), hlm. 215
[10]  Ibnu Rajab, Syarah ‘Ilal At-Tirmidzy, hlm.50, CD Makatabah Syamilah
[11]  Tadrib ar-Rawy, hlm. 217

content top