content top

Selasa, 21 Februari 2012

Musnad Ahmad Bin Hanbal


MUSNAD AHMAD BIN HANBAL
Oleh      : Fairuz Kholili dan Ismail Arfillah ( PBSB 2010)
Editor   : Fairuz Kholili


A.     Biografi Ahmad bin Hanbal
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal al-Syaibany dilahirkan di Baghdad tepatnya di kota Maru/Merv, kota kelahiran sang Ibu, pada Rabi’ul Awal tahun 164 H atau November 780 Masehi. Nama lengkapnya Ahmad bin Muhammad bin Hanbal ibn Hilal ibn Asad ibn Idris ibn Abdillah bin Hayyan ibn ‘Abdillah bin Anas ibn ‘Awf ibn Qosit ibn Mazin Ibn Syaiban ibn Zulal ibn Ismail ibn Ibrahim. Dengan kata lain beliau merupakan keturunan Arab dari suku Syaiban, sehingga diberi laqab al-Syaibany. Diberi julukan Abu Abdillah. Kakeknya, Hanbal ibn Hilal adalah Gubernur  Sarakhs yang bersama dinasti Abbasyiah aktif menentang dinasti Umayyah di Khurasan.
            Imam Ahmad dibesarkan di Baghdad dan mendapatkan pendidikan awalnya di kota tersebut  hingga usia 19 tahun (riwayat lain menyebutkan bahwa Ahmad pergi ke luar daerah Baghdad pada usia 16 tahun). Sejak kecil  Ahmad sudah disekolahkan pada seorang ahli qira’at. Pada umur yang relatif masih kecil beliau sudah dapat menghafalkan al-Qu’ran. Sejak umur enam belas tahun beliau sudah belajar hadis kepada Abu Yusuf, seorang  ahl-ra’yi  dan salah satu sahabat Abu Hanifah. Abu Yusuf adalah seorang hakim agung pada pemerintahan Bani Abbasiah. Karena kecintaan ahmad terhadap hadis, pagi-pagi buta dia selalu pergi ke masjid-masjid, hingga ibunya merindukannya.
            Tahun 183 H Ahmad bn Hanbal pergi ke beberapa kota dalam rangka mencari ilmu. Dia pergi ke Kuffah pada 183 H, kemudian pergi ke Basrah pada 186 H, ke Mekkah pada 187 H, dilanjutkan ke Madinah, Yaman (197), Syiria dan Mesopotamia. Selama perjalanannya, Ahmad memfokuskan perhatiannya untuk mencari Hadits. Ketika berda di kota Makkah inilah beliau beliau bertemu dengan Imam Malik dan mengikuti pelajarannya, sehingga beliau banyak mendapatkan pengaruh dari Imam Malik.
            Ahmad menikah dan dikaruniai dua orang putera yang terkenal dalam bidang hadis yaitu Salih dan Abdullah. Kedua anaknya banyak menerima hadis dari sang Ayah dan memasukkan sejumlah hadis kedalam kitab Musnad ayahnya.
            Imam Ahmad adalah seorang ilmuan yang produktif. Beliau banyak menulis kitab diantaranya ialah kitab al-‘Ilal, al-Tafsir,al-Nasikh wal Mansukh, kitab al-Zuhd,al-Masail,  kitab fadhail al-Sahabah, kitab al-fara’id, al-Manasikh, kitab al-Imam, kitab al-Asyribah, Ta’at al-Rasul dan kitab al-Ra,d ‘ala al-Jahmiyah. Kitab beliau yang paling agung dan paling termashur adalah ialah Musnad Ahmad.
            Kota Baghdad sebagai kota ilmu pengetahuan telah menjadikan Imam Ahmad sebagai orang yang tersohor karena keilmuannya dan pendiriannya yang kukuh mempertahankan keyakinan.
            Imam Ahmad bin Hanbal termasuk salah satu ulama yang produktif. Banyak sekali karya yang lahir dari tangan emas beliau. Di antara kitab-kitab karya beliau[1] adalah :
1.      Musnad Ahmad bin Hanbal, yang menghimpun sekitar empat puluh ribu Hadis.
2.      At-Tafsir, yang menghimpun beribu-ribu hadits dan atsar yang menafsirkan al-Qur'an.
3.      Al-Muqaddam wa Al-Muakhar fi al-Qur'an.
4.      Jawabat Al-Qur'an (Jawaban-jawaban Al-Qur'an)
5.      Al-Manasik Al-Kabir wa Al-Shagir
6.      Al-Naskh wal Mansukh
7.      At-Tarikh
8.      Az-Zuhud
9.      Ar-Raddu 'Ala Al-Jahmiah (Jawaban atas Jahmiah)
            Ahmad bin Hanbal meninggal pada hari jum’at bulan Rabi’ul Awwal tahun 241 H  (855 M) dikota kelahirannya Baghdad.

B.     Latar Belakang Metode Ahmad bin Hanbal dan Mazhab Hanbali
            Pada tahun 195 H sampai 197 H Imam Ahmad belajar Fiqh dan Ushul Fiqh pada Imam Syafi’i yang pada waktu itu berada di Hijaz. Di Hijaz juga ia belajar pada Imam Malik dan Imam al-Laits bin sa’ad al-Misri. Dalam pencarian hadis beliau juga pergi Yaman, kepada Abdurrazik bin Hamman, dan ke daerah-daerah lain, seperti Khurasan, Persia, dan Tarsus.
            Ahmad menganggap Imam Syafi’i sebagai guru besarnya, oleh karena itu imam Ahmad banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i. Hal ini juga bisa diketahui dari kata-kata beliau ketika sudah menjadi imam besar:" Apabila saya ditanya tentang apa yang tidak saya jumpai kabar (yaitu Hadis dan Atsar para sahabat) yang menjelaskannya, maka saya berpegang kepada pendapat Imam Syafi’i". Karena besarnya pengaruh Imam Syafi’i pada pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal inilah sampai-sampai al-Tabari tidak mau menganggapnya sebagai fuqaha atau mujtahid, dan menganggapnya sebagai muttabi’, periwayat hadis, dan bertaqlid.
            Dengan demikian meskipun pemikrannya banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i, banyak pula warna-warna Maliki dalam Fiqihnya. Dalam metodenya beliau lebih banyak menggunakan metode deduksi, namun itu tidak berarti menafikan bawa beliau juga menggunakan metode induksi. Beliau juga menggunakan Qiyas, Istihsan, Istishab, dan juga mempunyai kecenderungan tekstualis serta mengembalikan kepada Hadis dan Atsar. Mungkin karena kecenderungan beliau mengembalikan  hukum kepada Hadits itu pula, sehingga ia mendapat julukan sebagai penghulu para ulama’ salaf.
            Murid-murid dan pengikut Imam Ahmad yang berusaha konsisten terhadap pendapat atau paham Imam Ahmad dikenal sebagai pengikut Mazhab Hanbali. Dasar-dasar dari Mazhab Hanbali sebagaimana yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah:
1.      Al-Qu’an dan Hadis. Kecintaan Imam Ahmad terhadap hadis membuat beliau sering berfatwa dengan Hadis nabi tanpa memperhatikan keterangan tentang hadis-hadis lain yang bertentangan atau berpendapat dengan hadis tersebut
2.      Fatwa Sahabat. Jika beliau mendapatkan perkataan sahabat  setelah tidak menemukan al-Qur’an dan Hadis nabi dan tidak menemukan bantahan dari sahabat lain, maka beliau menjadikan perkataan tersebut sebagai hujjah.
3.      Pendapat sahabat yang lebih dekat dengan kepada al-Quran dan al-Sunnah. Apabila  beliau mendapatkan perkataan dari beberapa sahabat, beliau mengambil pendapat yang lebih dekat dengan al-Quran dan al-Sunnah. Beliau tidak meninggalkan perkataan para sahabat untuk membuat ijtihad sendiri. Beliau selalu  menerangkan tentang beberapa perkataan sahabat dan menjelaskan perkataan sahabat mana yang harus diambil.
4.      Hadis Mursal dan Hadis Da’if.  Hadis ini dipakai oleh Imam Ahmad sebagai hujjah ketika beliau tidak mendapatkan pendapat atau keterangan yang menolak hadis tersebut dan selama hadis tersebut masih menggambarkan karakter yang sesungguhnya dari Nabi dan menyoroti aspek-aspek sosial-ekonomi, agama dan etika dari kehidupan Nabi.
5.      Qiyas. Imam Ahmad menggunakan Qiyas ketika sudah tidak menjumpai semua yang tertera sebelumnya. Dalam keterangan yang lain beliau juga menggunakan Istishab dan Istihsan.
Mazhab Hanbali berkembang khususnya di Baghdad tempat kelahiran beliau, kemudian berkembang ke Irak. Pada permulaan abad keempat mazhab ini masuk ke Nadjad dan masuk ke Mesir pada masa pemerintahan Fatimiyah dan Ayubiyah. Menurt Sebagian Ulama, penganut mazhab ini tidak banyak, karena Imam Ahmad terlalu keras/ekstrim berpegang atau bersikukuh tidak berfatwa tentang sesuatu yang tidak ada nasnya. Mazhab hanbali dianggap tidak bisa menjawab persoalan masyarakat yang terus berkembang karena terlalu sempit, tidak leluasa menggunakan qiyas, atau istihsan dan maslahatul mursalah sebagaimana pada mazhab lain.
            Kecintaan Ibn Hanbal yang begitu besar kepada Nabi, kepada hadis membuatnya tidak peduli pada rangkaian perawi (isnad), yang menurut para ahli hadis harus di periksa validitasnya secara cermat. Bagi beliau hanya ada satu kriteria untuk menilai suatu hadis itu sah atau tidak. Kriteria tersebut ialah bahwa hadis tersebut harus menggambarkan karakter yang sesungguhnya  dari Nabi dan menyoroti aspek-aspek sosial-ekonomi, agama dan etika kehidupan Nabi. Termasuk dalam hal ini ialah makanan yang beliau santap, pakaian yang dikenakan , cara beliau shalat, berperang , berjalan, duduk dan tidur.
            Dalam  musnadnya  Ahmad bahkan mencantumkan hadis-hadis yang perawi pertamanya tidak diketahui (majhul),hal ini mengundang kritikan keras dari para ulama’.[2]


C.      Musnad Ahmad bin Hanbal
            Sebelum berbicara lebih jauh mengenai kitab Musnad Ahmad bin Hanbal alangkah lebih baik kalau kita lebih dulu membahas mengenai berbagai ragam metode penyusunan kitab-kitab hadis. Sebagaimana kita ketahui bahwasannya metode penyusunan kitab-kitab hadis sangatlah beragam. Di antara ragam penyusunan kitab-kitab hadis tersebut adalah Al-Jami', Musnad, Mu'jam, Mustadrak, Mustakhrajat, dan Ajza'.[3]Adapun pengertian dari masing-masing jenis tersebut adalah :
1.      Kitab Al-Jami' adalah kitab yang hadis-hadis di dalamnya disusun berdasarkan berbagai bab hadis seperti, 'aqaid, ahkam, riqaq, adab al-ta'am wa al-syarab, tafsir-tarikh-siyar, safar-qiyam-qu'ud, fitan, manaqib, dan lain-lain. Contoh kitab hadis jenis ini adalah Al-Jami'u Al-Shahih Al-Bukhari.
2.      Kitab Mu'jam adalah kitab yang hadis-hadis dalam kitab tersebut disusun berdasarkan  nama guru, negeri, atau kabilah-kabilah. Kitab hadis jenis ini yang paling terkenal adalah Mu'jam Ath-Thabrani al-Kabir, al-Wasith, dan al-Saghir.
3.      Kitab Musnad adalah kitab yang hadisnya disusun berdasarkan nama perawi pertama atau sahabat. Dalam penyusunannya biasanya berdasarkan senioritasnya dalam Islam atau berdasarkan faktor nasab (keturunan).
4.      Kitab Mustadrak adalah kitab yang disusun berdasarkan persyaratan kesahihan ulama sebelumnya, namun hadisnya belum disebut dalam kitab sebelumnya. Kitab jenis ini yang paling terkenal adalah Al-Mustadrak karya Imam Hakim.
5.      Kitab Mustakhrajah adalah kitab yang berisi hadis dari ulama lain namun dengan menggunakan riwayat tersendiri. Contohnya adalah Mustakhraj Abu Bakar al-Ismaili dari Kitab Bukhari.
6.      Kitab Ajza' adalah kitab yang berisi hadis-hadis yang berasal dari seorang sahabat, tabi'in saja atau satu persoalan saja. Seperti contoh Kitab Ajza' Abu Bakar, Ajza' mengenai shalat sunnah malam oleh Al-Marwazi, dan Ajza' mengenai shalat dhuha oleh As-Suyuti.
Di antara contoh kitab Musnad adalah Musnad Imam Abu Dawud Ath-Thayalisi, yang merupakan penulis pertama kitab musnad[4]. Adapun contoh lainnya adalah  kitab musnad yang lain adalah Musnad Ahmad bin Hanbal. Pengarangnya adalah Imam Ahmad bin Hanbal bin Hilal Asy-Syaibani Al-Maruzi. Kitab ini menurut Subhi Salih adalah kitab yang paling memadai dan yang paling luas. Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal termasuk kitab yang termasyhur dan terbesar yang disusun pada periode kelima perkembangan hadis (Abad Ketiga Hijriyah). Kitab ini memuat hadis-hadis shahih yang belum dimuat dalam kutubut tis'ah. Namun tidak semua hadis yang terdapat dalam Musnad Ahmad adalah riwayat Imam Ahmad, sebagian merupakan tambahan dari putera beliau Abdullah, dan juga tambahan dari Abu Bakar Al-Qati'i.
Dalam kitabnya tersebut Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan sekitar 40.000 hadis yang telah beliau pilih dari 700.000 hadis yang beliau hafal. Kurang lebih 10.000 hadis di antaranya dengan berulang-ulang. Tambahan dari putera beliau, Abdullah sekitar 10.000 hadis dan beberapa lagi merupakan tambahan dari Ahmad bin Ja'far al-Qati'i. Adapun yang menyusun kitab musnad ini adalah Abdullah bin Ahmad bin Hanbal[5].
Jika dilihat dari derajatnya, menurut Subhi Salih Kitab musnad ini berada di urutan kedua setelah kitab-kitab shahih yang mecakup kitab-kitab enam milik Bukahri, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah. Secara umum terdapat tiga penilaian para ulama mengenai derajat kitab musnad Ahmad. Pertama, bahwa seluruh hadis yang terdapat di dalamnya dapat dijadikan hujjah atau dalil. Pedapat ini berdasarkan perkataan Imam Ahmad ketika ditannya mengenai kitab musnadnya tersebut. Beliau mengatakan " Jika kaum muslimin berselisih mengenai sebuah Hadis Rasulullah SAW, jadikanlah kitabku ini sebagai bahan rujukan. Kalau kamu dapati apa yang kamu cari di sana, itulah jawabannya. Kalau tidak, maka ia bisa dijadikan bahan argumentasi".[6] Kedua, bahwa di dalam Musnad Ahmad tersebut terdapat hadis yang shahih, dha'if, dan bahkan maudhu'. Ibnu Jauzy menjelaskan bahwa dalam Musnad Ahmad terdapat 29 hadis maudhu'. Menurut Al-'Iraqy bahkan terdapat 39 hadis maudhu'. Ketiga, bahwa di dalam Musnad Ahmad terdapat hadis yang shahih, dan dha'if yang mendekati tingkatan hasan. Di antar mereka yang berpendapat demikian adalah Adz-Dzahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Taimiyyah, dan As-Suyuti.
 Berdasarkan sumbernya hadis-hadis yang terdapat dalam Musnad Ahmad dapat dibagi menjadi 6 macam, yaitu :
1.      Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, dengan mendengar langsung. Hadis seperti ini paling banyak jumlahnya dalam Musnad Ahmad.
2.      Hadis yang didengar oleh Abdullah dari ayahnya dan orang lain. Hadis semacam ini sangat sedikit jumlahnya.
3.      Hadis yang diriwayatka oleh Abdullah dari selain ayahnya. Hadis-hadis seperti ini oleh para ahli hadis disebut sebagai zawaid Abdullah (tambahan-tambahan).
4.      Hadis yang tidak didengar Abdullah dari ayahnya, akan tetapi dibacakan kepada sang ayah.
5.      Hadis yang tidak didengar dan tidak dibacakan oleh Abdullah kepada ayahnya, namun Abdullah menemukannya dalam kitab sang ayah yang ditulis dengan tangan.
6.      Hadis yang diriwayatkan oleh al-Hafiz Abu Bakar al-Qati'i.
  Kitab Musnad Ahmad ini disusun berdasarkan rawi pertama atau sahabat. Urutannya didasarkan pada aspek senioritasnya dalam Islam, mulai dari sahabat yang lebih senior atau sahabat besar. Susunan hadis pada kitab diklasifikasikan hingga 14 golongan. Dimulai dari golongan sahabat-sahabat al-'Asyrah al-Mubasyarah bil Jannah (sepuluh sahabat yang dijanjikan masuk surga), kemudian disusul oleh hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yang lebih junior. Untuk lebih lengkapnya bisa dilihat pada tabel berikut :

NO
GOLONGAN
JUMLAH ROWI
1.
مُسْنَدُ الْعَشَرَةِ الْمُبَشَّرِينَ بِالْجَنَّةِ
10
2.
مُسْنَدُ الصَّحَابَةِ بَعْدَ الْعَشَرَةِ
4
3.
مُسْنَدُ أَهْلِ الْبَيْتِ
5
4.
مُسْنَدِ بَنِي هَاشِمٍ
6
5.
مُسْنَدُ الْمُكْثِرِينَ مِنَ الصَّحَابَةِ
4
6.
بَاقِي مُسْنَدِ الْمُكْثِرِينَ
250
7.
مُسْنَدُ الْمَكِّيِّينَ
149
8.
مُسْنَدِ الْمَدَنِيِّينَ
147
9.
مُسْنَدُ الشَّامِيِّينَ
190
10.
مُسْنَدِ الْكُوفِيِّينَ
164
11.
مُسْنَدِ الْبَصْرِيِّينَ
120
12.
مُسْنَدُ الْأَنْصَارِ
54
13.
بَاقِي مُسْنَدِ الْأَنْصَارِ
257
14.
مُسْنَدِ الْقَبَائِلِ
91
Keterangan :
1.      Al-Asyrah al-Mubsyarah bil Jannah adalah sepuluh sahabat nabi yang oleh Nabi Muhammad dijanjikan kelak akan masuk surga. Mereka adalah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin 'Affan, 'Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidah, Zubair bin 'Awam, Sa'ad bin Abi Waqash, Sa'id bin Zain bin Amr bin Naufal, Abdurrahman bin 'Auf, Abi Ubaidah bin Jarrah.
Sebagai kitab hadis yang terkenal, banyak ulama' yang memberikan perhatian khusus terhadap kitab Musnad Ahmad. Ghulam bin Sa'labah, misalnya beliau mengumpulkan lafaz-lafaz yang gharib yang terdapat di dalam Musnad Ahmad dan memaknainya. Ibnu Mulaqqin al-Syafi'i membuat mukhtashar (ringkasan) dari kitab musnad tersebut. Al-Sindy membuat syarah dari kitab tersebut.
Pada perkembangannya kitab Musnad Ahmad disusun berdasarkan fiqih oleh Abdurrahman bin Muhammad al-Banna yang terkenal dengan al-Sa'at dan dijadikan tujuh bagian. Kitab ini kemudian dikenal dengan nama al-Fath al-Rabbani.

D.     Pendapat Para Ulama
Sebagai seorang tokoh yang besar apalagi seorang Imam Madzhab pastinya tidak akan terlepas dari sorotan banyak orang. Banyak tokoh yang menyorti kehidupan sang Imam ini. Selama hidupnya, Ahmad bin Hanbal terkenal wara', pendiam, suka berpikir, peka terhadap kondisi sosial, dan juga suka bertukar pendapat. Dia mempunyai pikiran yang cemerlang, wawasan yang luas, dan kepribadian yang baik. Ketika Imam Syafi'i  belajar di Baghdad dan menuju Mesir beliau berkatan, " Ketika saya meninggalkan Baghdad, di sana tidak ada orang yang lebih pandai di bidang ilmu fiqih, lebih wara', lebih zuhud, dan lebih alim daripada Ahmad bin Hanbal".
            Menurut Ali bin al-Madiny mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang berusaha mengembangkan ilmu dalam Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Abu Zar'ah juga mengakui bahwa Ahmad menghafalkan beribu-ribu hadis sehingga dianggap sebagi amirul mukminin dalam hadis. Qutaibah bahkan mengakui bahwa Ahmad bin Hanbal adalah Imam dunia ini karena telah menyusun sebuah kitab musnad yang di dalamnya terkoleksi hadis-hadis yang tidak diketemukan oleh orang lain.
            Namun demikian sebagai seorang manusia tentu tidak bisa terlepas dari keterbatasan ruang dan waktu. Kehidupan, pemikiran, dan sikap hidup Ahmad bin Hanbal terbentuk oleh dan dalam kondisi sosial tertentu. Bagi Imam Ahmad kehidupan dan sunnah Nabi adalah cahaya petunjuk, suatu model standar dan ideal yang harus sungguh-sungguh dipraktekkan dalam kehidupan diri dan masyarakatnya. Hal ini menjadikan beliau seorang pribadi yang keras berpegang pada Hadis.
            Sebagian ulama berpendapat bahwa penganut Mazhab Hanbali tidak banyak karena Imam Ahmad terlalu keras berpegang pada riwayat. Imam Ahamad  bahkan bersikukuh untuk tidak berfatwa tentang sesuatu yang tidak ada nash-nya. Mazhab Hanbali dipandang tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang dan menghadapi persoalan yang juga tidak statis. Mazhab ini dianggap terlalu sempit, karena tidak leluasa menggunakan qiyas, atau Istihsan dan maslahah mursalah sebagaimana Mazhab lain.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, seorang cendekiawan Islam kontemporer Asghar Ali Engineer menemptakan Imam Ahmad sebagai seorang yang tergolong kaku dan ortodoks, Abu Hanifah sebagai liberalis, Imam Malik sebagai orang yang konservatif, dan Imam Syafi'i sebagai pribadi yang moderat.

E.      Kesimpulan
Imam Ahmad bin Hanbal adalah gambaran seorang tokoh yang sederhana, merakyat, dan mempunyai komitmen keislaman yang tinggi. Kecintaan beliau pada Hadis dan kesetiaan beliau kepada Rasulullah SAW yang harus dibayar dengan pengorbanan baik fisik maupun non fisik merupakan satu nilai tambah yang patut diapresiasi.
Imam Ahmad bin Hanbal merupakan Imam besar yang dan sempurna pada zamannya. Kitab Musnad beliau merupakan kitab yang termasyhur yang ada pada zamannya, abad ketiga Hijriah. Kitab Musnad Ahmad tetap dibaca dan dijadikan sumber rujukan hingga sekarang. Namun demikian, sebagai seorang manusia Ahmad bin Hanbal terikat dengan hukum alam tentang ruang dan waktu. Kebudayaan, kondisi sosial, waktu, masalah yang berbeda, dan kehidupan yang beragam tentu saja mengandalkan pemikiran dan penyelesaian yang proporsional. Kitab Musnad Ahmad merupakan salah satu warisan penting yang berharga bagi perumusan pemikiran dan penyelesaian masalah kontemporer.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Salih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2009.
Dosen Tafsir Hadis, Studi Kitab Hadis. ed. M. Alfatih Suryadilaga. Yogyakarta : Teras. 2009
Al-Jamal, Syaikh M. Hasan, Biografi 10 Imam Besar, terj. Khaled Muslih, dkk. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar. 2003
Ibnu Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad. CD Room Maktabah Syamilah


[1] Hasan Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, terj. Khaled Muslih, hlm. 108
[2] Dosen tafsir hadis, studi kitab hadis. Hlm 31
[3] Subhi Salih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, hlm. 119
[4] Subhi Salih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,hlm. 121
[5] Dosen Tafsir Hadits, Studi Kitab Hadis, ed. Alfatih Suryadilaga, hlm. 32
[6] Subhi Salih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, hlm. 121

content top