Oleh : Fairus Kholili
A. Pengertian Majaz
Majaz menurut Sayyid Ahmad al-Hasyimi adalah lafadz yang digunakan tidak pada mestinya dalam terminologi percakapan, dengan adanya Alaqah[1] dan Qorinah[2] yang mencegah terhdap makna asli.[3] Jadi yang harus kita garis bawahi disini adalah adanya pemalingan dari makna asli.
Dalam ilmu balaghah sendiri dibedakan antara kinyah dan majaz, tapi ketika memasukkan pembahasan majaz terhadap ilmu hadits disini disamakan. Majaz disini meliputi majaz lughawi, aqli, isti’arah, kinayah, dan berbagai ungkapan lain yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung atau yang dipalingkan terhadap makna asli, tetapi dapat dipahami dengan alaqah dan qarinah . Jadi , sebagai standard disini, suatu lafadz itu bisa dikatakan sebagai majaz ketika ada alaqah yang melarang terhadap pemaknaan hakiki dan Qarinah yang mnyertainya.
Rosulullah SAW adalah seorang yang berbahasa arab yang paling menguasai balaghah . Sabda-sabda beliau merupakan bagian dari wahyu.[4] Maka kita pasti akan banyak menemukan majaz dalam hadis yang beliau sampaikan. Karena dengan menggunakan majaz pastilah orang lebih terkesan dengan apa yang beliau utarakan serta hal itu lebih baligh atau lebih dapat sampai kepada penerima hadits.
B. Obyek Kajian
Objek kajian dalam majaz menurut kami adalah matan hadits yang maknanya dipalingkan dari makna aslinya. Hal ni secara garis besar, sedangkan lebih detailnya pada lafadz yang dipalingkan atau lafadz yang tidak semestinya(tidak biasa) digunakan pada kalimat matan hadits.
C. Urgensi
Urgensi dari kajian majaz ini kami bagi terhadap beberapa hal;
ü Memberikan pemahaman yang benar terhadap makna majaz yang digunakan oleh nabi dalam haditsnya. Dengan mempelajari majaz, akan membuka cakrawala kita tentang makna yang lebih tepat dari sebuah hadits.
ü Menjauhkan kita terhadap penta’wilan yang berlebihan terhadap hadits-hadits yang menggunakan majaz. Dengan mengetahui syarat yang ada dalam menggunakan majaz akan menghilangkan penta’wilan kita yang terlalu berlebihan yang sampai membuat pemahaman yang melenceng dari apa yang dimaksutkan teks hadits.
ü Menjauhkan dari pemahaman yang dipaksakan terhadap makna yang dipakai harfiah, sedangkan sebenarnya suatu hadits tersebut menggunakan majaz. Hal ini akan menyebabkan kesulitan dalam memahami suatu teks hadits.
ü Membedakan antara mana yang merupakan majaz dan yang hakiki.[5]
D. Metode
Dalam buku Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW, kita bisa simpulkan bagaimana yusuf Qardawi menggunakan metode ta’wil dalam memahami majaz hadits. Adapun langkah-langkahnya adalah;
ü Pertama, beliau mengaitkan pentakwilannya dengan al-Qur'an.
ü kedua, dengan mengaitkan dengan hadis-hadis setema.
ü Ketiga,mengambil dari pendapat ulama',
ü dan keempat, pendekatan logika bahasa, dengan syarat sesuai dengan kesimpulan akal yang sehat, syari'at yang benar, pengetahuan yang pasti, dan fakta yang tidak diragukan.
Kemudian qarinah (indikator) yang digunakan adalah qarinah lafziyyah (indikator dalam teks) dan ini adalah yang diprioritaskan baru kemudian qarinah haliyyah (indikator diluar teks). Hal ini karena Yusuf al-Qaradawi dalam memaknai teks selalu berangkat dari makna apa yang terdapat dalam teks, sebelum mencari makna sesuai konteks.
E. Tokoh dan Kitab yang Terkait
Tokoh dan kitab yang terkait dengan masalah majaz yang terkait dengan hadits salah satunya adalah Sayyid Ridho dengan kitab Majazatun Nabawiyah . dalam kitab ini sayyid ridho mengumpulkan hadits-hadits yang banyak dari lafadz-lafadz lughawiyah dan gaya bahasa balaghah yang tinggi.[6] Dalam kitab ini beliau memaparkan hadits yang mengandung majaz dan menjelaskan masuk manakah majaz tersebut beserta makna yang sebenarnya dari yang dimaksutkan dari majaz tersebut dengan menggunakan analisis bahasa dan terkadang juga mengambil sampel dari ayat al-Qur’an untuk menguatkan argumentasinya.
F. Contoh Hadits
Kami mengambilkan contoh dari kitab majazatun nabawiyah hadits ke 281 halaman 363. Haditsnya sebagai berikut.
ليلة الجمعة غراء ويومها آزهر
Artinya: “ malam jum’at adalah malam yang terang dan siangnya sangat putih/terang.”
Lafadz غراء dan آزهر keduanya adalah istiarah. Dan yang dimaksudkan dengan malam jumat yang terang disana adalah malam yang istimewa dari semua malam, dengan ukuran keagungan dan kemuliaan beramal di dalamnya. Dan begitupula maksud dari siangnya sangat putih/terang. Disana juga menggunakan isti’arah. Dikatakan sebagai putih sekali karena keistimewaan siang pada hari jumat dari siang-siang pada hari lain dan dilipatgandakannya pahala dan kemulian berdzikir pada siang hari, dihari jumat.
Daftar Pustaka
Al-Hasimi Ahmad, Jawahirul Balaghah.(surabaya: Hidayah)
Qardawi Yusuf, Bagaimana memahami hadits nabi saw.
Sayyid Ridho, Majazatun Nabawiyah.
[1] Yang dimaksut dengan alaqah dalam kitab jawahirul balaghah adalah kesesuaian antara makna hakiki dan makna makna majaz.
[2] Yang dimaksut dengan qarinah disini adalah suatu perkara yang dijadikan sebagai dalil bahwa yang dimaksudkan bukan yang sebenarnya..
[3] Al-Hasimi Ahmad, Jawahirul Balaghah.(surabaya: Hidayah) hal 290
[4] Qardawi Yusuf, Bagaimana memahami hadits nabi SAW. Hal 167
[5] Analisis penulis
[6] Muqaddimah Muhaqqiq kitab Majazatun Nabawiyah.