Oleh : Nilda Hayati, Ismangil Ngarfillah, Ahmad Syafi'in Aslam, Asep
Nahrul Musyaddad, dan Alfa Syfa'(PBSB 2010)
Editor : Fairuz Kholili
1. Setting Historis-Biografis al-Farra’
A. Selayang Pandang Al-Farra’
Beliau adalah Abu Zakaria Yahya bin Ziyad bin Abdullah bin Manshur ad-Dailami. Nama beliau dinisbatkan pada Ad-Dailam adalah sebuah daerah yang terdapat di Persia. Al-Farra’ juga dikenal dengan Yahya bin al-Aqtha’, al-Aqha’ adalah ayah beliau, Ziyad adalah salah seorang sahabat yang ikut serta dalam peperangan yang dipimpin oleh Husein bin Ali Radhiyallahu ‘Anhu, digelari dengan al-Aqtha’ (si buntung tangan) karena tangan beliau terkena pedang pada waktu perang tersebut. Namun menurut Khallikan, yang digelari dengan al-Aqtha’ tersebut adalah kakeknya, karena kalau dilihat dari tahun kelahiran al-Farra’ pada tahun 144 H, sedangkan peperangan Husein terjadi pada tahun 61 H, jelas terlihat ada jarak 84 tahun antara peperangan tersebut dengan kelahiran al-Farra’.[1]
Nenek moyang beliau masuk Islam pada waktu awal islam masuk ke Ad-Dailam dan Persia. Ini ditunjukkan oleh nama ayahnya yang menggunakan telah bahasa Arab. Sedangkan ibunya adalah bibi Muhammad bin Hasan, sahabat Abu Hanifah.
Kata “al-Farra’” merupakan sebuah gelar yang diberikan kepada Yahya bin Ziyad. Digelari Al-Farra’ karena kepiawaian beliau dalam berbicara, sangat baik dalam mensistematisasikan persoalan, senada dengan pendapat Abu Fadhl al-Falaki bahwa a-Farra’ menunjukkan pada orang yang piawai dalam berbicara. Menurut pendapat lain, gelar al-Farra’ ini diberikan kepada beliau karena kepintaran beliau dalam memecahkan permasalahan, dan mampu mengalahkan lawan bicara dengan persoalan-persolan yang ditujukan kepada beliau.
B. Kelahiran Dan Pertumbuhan
Al-Farra’ lahir di Kufah pada tahun 144 H pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur. Kufah pada waktu itu adalah salah satu dari dua kota menjadi kota pelajar pada masa itu, dimana berbagai ilmu pengetahuan berkembang pesat dan di kota banyak ditemui para ulama terkenal. Kufah merupakan kota pilihan al-Farra’ untuk menuntut ilmu, dapat kita lihat bahwa sebahagian besar guru beliau berasal dari Kuffah, di antaranya: Qais bin Rabi’, Mandal bin ‘Ali, Abu Bakar bin ‘Ayyash dan al-Kissa’i, serta Sufyan bin ‘Uyainah. Menurut satu pendapat bahwa beliau juga berguru kepada Yunus bin Habib al-Bishri yang mempelajari kitab nahwu Sibawaih yang sangat fenomenal sampai saat sekarang ini.[2] Selain itu Kota kelahiran al-Farra ini merupakan pusat studi filsafat, lexiografi dan gramatikal sebagai perangkat penstabilan bahasa Arab.
Al-Farra’ mempunyai kekuatan hafalan sangat kuat terbukti bahwa setiap beliau dalam transfer ilmu dari sang guru beliau tidak pernah mencatat, semuanya dihapalkan. Hannad bin Sirri mengatakan bahwa selama beliau satu seperjuangan dengan al-Farra’ dalam menuntut ilmu tidak pernah sekalipun al-Farra’ menulis apa yang beliau dengar, hanya saja apabila mendengarkan suatu pernyataan yang berhubungan dengan tafsir dan bahasa, maka beliau akan berkata kepada sang guru: “Ulangilah sekali lagi untukku, wahai Guru.” Menurut Hannad, al-Farra’ menghapalkan setiap hal yang beliau butuhkan.
Kekuatan hapalan beliau tidak dibuktikan dengan pernyataan dari teman seperjuangan beliau saja, bahkan selama hidup terbukti bahwa setiap mendiktekan setiap kitab-kitab beliau tanpa menggunakan naskah, semuanya dengan menggunakan metode hapalan.
Kepiawaian al-Farra’ berbicara dan bertukar pendapat -terutama dalam bidang bahasa- menjadikan beliau berkedudukan yang tinggi yang tiada tandingnya. Beliau dikenal sebagai tokoh besar Kuffah setelah Al-Kisa’i. Tsa’lab berkomentar: ”Kalau saja tidak ada al-Farra’ bahasa arab tidak akan dapat berkembang sampai saat sekarang ini, karena beliaulah yang meringkas dan menyusunnya sehingga bahasa Arab akan lenyap. Hai ini terjadi karena banyaknya pertentangan dan klaim dari orang-orang yang menginginkannya, sedangkan masyarakat pada waktu itu menggunakan bahasa Arab sesuai dengan keintelektualan mereka masing-masing sehingga mudah menyebabkan eksistensi bahasa Arab semakin pudar.
Pertemuan al-Farra’ dengan khalifah Al-Ma’mun melalui perantaraan Tsumamah bin al-‘Asyras al-Mu’tazili. Pada satu kesempatan Tsumamah menguji al-Farra dalam beberapa bidang keilmuan, dia berkata: ”Aku melihat al-Farra’ adalah seorang penyair yang sangat besar, lalu aku duduk dan mengajak beliau berdiskusi dalam masalah bahasa Arab. Setelah perdebatan tersebut aku mengetahui bahwa beliau adalah pakar sastra arab dan juga seorang ahli nahwu. Kemudian aku berdiskusi mengenai fiqh, ternyata beliau adalah pakarnya dan mengetahui perdebatan-perdebatan di antara ulama fiqh. Setelah itu, aku berdiskusi dengan beliau masalah ilmu nujum, kedokteran, sejarah Arab, dan sastra-sastra Arab, ternyata beliau adalah pakarnya.”[3]
Setelah melakukan diskusi tersebut dan menyaksikan kecerdasan al-Farra’ dalam berbagai bidang ilmu. Kemudian Tsumamah memberitahu Khalifah Makmun, kemudian beliau menuyusuh al-Farra’ untuk datang ke istana Al-Ma’mun. Di Baghdad, al-Farra’ memperoleh kedudukan yang tinggi yang diberikan oleh Khalifah. Para ahli sejarah mengatakan bahwa khalifah al-Ma’mun menyuruhnya untuk membuat sebuah perkumpulan yang mengkaji tentang dasar-dasar nahu.[4] Bahkan, Khalifah pun mempercayakan pendidikan kedua anaknya kepada al-Farra’, selain itu, al-Farra’ diminta untuk mengarang mengenai kaidah-kaidah dalam bahasa Arab dan menyusun syair untuk Khalifah.
Menurut Ibnu Nadim: “Al-Farra’ menghabiskan sebahagian besar hidupnya di Baghdad mulai dari masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun sampai pada kekhalifahan Harun Ar-Rasyid, hanya saja setiap akhir tahun beliau berkunjung ke Kuffah dan menetap selama 40 hari bersama keluarga dan memberikan harta untuk keluarga beliau, lalu kemudian beliau kembali ke Baghdad.”[5]
Beliau wafat dalam perjalanan ke Mekkah pada tahun 207 H dalam usia 63 tahun, menurut Ansab as-Sam’ani, beliau meninggal pada 209 H. Namun, dengan wafatnya beliau bukan berarti beliau telah kehilangan eksistensi dalam ranah keilmuan Islam terutama dalam bidang bahasa, dalam perjalanan hidup al-Farra’ tercatat ada 17 buku yang menjadi karya al-Farra’ termasuk kitab “Tafsir Ma’anil Qur’an”.[6]
a. Alatul Kitab
b. Al-Ayyamu wa Al-layali
c. Al-Baha’
d. Al-Jam’u wa Tanbih fi al-Qur’an
e. Al-Hudud, berisi tentang kaidah bahasa arab
f. Huruf al-Mu’jam
g. Al-Fakhir fi al-Amtsal
h. Fi’il wa Af’al
i. Al-Lughat
j. Al-Mudzakkar wa al-Muannats
k. Al-Musykil ash-Shaghir
l. Al-Musykil al-Kabir
m. Al-Mashadir fi al-Qur’an
n. Ma’anil Qur’an
o. Al-Maqshur wa al-Mamdud
p. Al-Nawadir
q. Al-Waqf wa al-Ibtida’
2. Studi Kitab Ma’anil Qur’an
A. Sejarah Penulisan
Pada awalnya motif penyusunan kitab ini adalah untuk membahas isi dari nash-nash al-Qur’an yang sulit penafsirannya dan memerlukan perhatian lebih dalam pemahamannya. Disebutkan dalam beberapa sejarah tafsir, kitab ini disusun karena permintaan dari salah seorang sahabat beliau ‘Umar ibn Bakir yang secara kebetulan tidak bisa menjawab pertanyaan perihal al-Qur’an dari gubernur al-Hasan ibn Sahl. ‘Umar ibn Bakir meminta bantuan al-Farra’ menulis prinsip-prinsip penafsiran/buku rujukan yang dapat ia gunakan sebagai pegangan dalam menjawabnya. Hal ini ia lakukan karena al-Farra’ dirasa mumpuni dalam informasi mengenai idiom-idiom/istilah tertentu yang hanya dapat dianalisis oleh ahli bahasa sepertinya.
Sejak saat itulah ia mulai membuat halaqah di waktu tertentu untuk mendiktekan isi kitab Ma’ani al-Qur’an kepada murid-muridnya. Dan inipun dilakukan oleh murid yang telah ditunjuknya untuk membacakan ayat-ayat tertentu. Keunikan caranya ini mengherankan Abul ‘Abbas, ia bertutur: “Belum ada seorang pun yang menempuh cara ini”[7]. Dari kata-katanya ini menimbulkan perdebatan apakah kitab ini merupakan kitab tafsir pertama yang tersusun secara sisitematis atau tidak. Terlepas dari perdebatan ini, al-Farra’ memanglah menyusunnya secara sistematis dengan kupasan makna-makna yang kompleks secara komprehensif. Maka dari itulah kitab ini dinamakan Ma’ani al-Qur’an, yang berarti kupasan makna kata-kata tertentu sebagai pedoman dalam menjawab persoalan yang mungkin tumbuh di lingkungan tertentu menyangkut al-Qur’an.[8]
Satu di antara murid-muridnya yang hadir dalam majlis halaqahnya mampu menangkap dan mencatat ulang ceramah al-Farra’, yaitu Muhammad ibn al-Jahm al-Simarri. Kodifikasiannya pun sempat mendapat koreksi langsung oleh al-Farra’. Inilah yang menjadikannya lebih unggul dan populer dari perawi ma’anil Qur’an lainnya. Namun, menjadi salah satu kelemahannya, kitab Ma’ani ini masih terkesan parsial-atomistik. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kitab ini hanya menaruh minat pada unit-unit tertentu dalam sebuah ayat.
1. Konstruksi Tafsir dalam Ma’ani al-Qur’an
Kitab ini terlahir dari seorang pendekar bahasa di Kuffah. Tak heran jika dalam karya tafsirnya ini, aroma linguistik sangat terasa dalam setiap sendi-sendi penafsirannya. Ditinjau dari ruang historisitas yang melingkupi al-Farra’ dan motif dari penulisan kitabnya, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa kitab ini lebih layak disebut tafsir linguistik al-Qur’an (tafsir lughawy).
Setidaknya gambaran umum sekitar konstruksi tafsir al-Farra’ ini dapat dilihat dari bagian pendahuluan kitabnya, meskipun dalam bentuk yang sangat singkat sekali. Perawi level kedua tafsir ini meriwayatkan dari perawi yang pertama yakni Muhammad ibn al-Jahm, bahwa pada awal mulanya, al-Farra’ menyatakan bahwa karyanya ini adalah tafsir Musykili I’rabil Qur’an wa Ma’anihi (Penafsiran atas problem I’rab dan semantikal al-Qur’an).[9] Sebuah ungkapan yang sangat simple dan fundamental.
Jika memang nama ini adalah yang dimaksud al-Farra dalam kitab tafsirnya, maka hal ini menunjukan maksud utama al-Farra’ dalam tafsirnya, yakni konsentrasi prioritas tafsirnya ini hanya berkutat pada aspek gramatikal ayat, tidak menyangkut hal lainnya. Hal ini diperkuat dengan mayoritas kitab-kitab karangannya yang hampir seluruhnya bertemakan gramatikal bahasa arabn (seperti al-Mudzakar wal Mu’annats, Maqshur wa al-Mamdud, dsb..).
Karena tujuannya inilah, harus dipahami bahwa nantinya yang menarik perhatian al-Farra’ adalah bukan pesan dasar al-Qur’an secara holistik, tetapi hanya unit-unit terkecil al-Qur’an pada bagian-bagian tertentu saja. Misalnya, kupasannya dalam surat al-fatihah hanya terkonsentrasikan kepada alif dalam kata ism dalam kalimat bismillah, I’rab-nya ghair dan makna la pada potongan ayat terakhir surat al-Fatihah.[10]
2. Sumber Penafsiran
Atas asumsi dasar bahwa al-Farra’ adalah seorang pendekar bahasa, ini berarti bahwa al-Farra’ tentu tertarik kepada sumber-sumber tertentu yang ia unggulkan yang tidak diunggulkan oleh mufassir lainnya. Persoalannya kemudian adalah sumber apa yang diunggulkan oleh al-Farra’ sebagai rujukan dalam konstruksi penafsirannya.
Setelah al-farra’ member nama karya tafsirnya, al-farra’ kemudian menguraikan beberapa ungkapan ahli qira’at dan mushaf terkait polemik penulisan huruf alif yang terdapat dalam kata ism dalam lafadz bismillah. Dalam mengawali penuturannya ia mengatakan :
“ Persoalan pertama tentang penafsiran adalah kesepakatan para qurra’ dan penulis mushaf untuk membuang alif dari kata ism dalam lafadz ‘ bismillahirrahmanirahim’ . Para qurra’ tidak membuang alif dalam ‘ fasabbih bismirabbikal ‘adzhim ‘. [11]
Ungkapan yang tegas tentang para ahli qira’at dan para penulis mushaf,apalagi ditempatkan di permulaan penafsirannya, dan diulang beberapa kali menunjukan bahwa posisi para ahli qira’at sebagai sumber penafsiran al-farra’ seedemikian tinggi. Dalam hal ini ia tidak mengorek bagaimana penafsiran Nabi dan generasi pertama seperti yang dilakkan at-thabari misalnya.[12] Dengan demikian, jelaslah bahwa bangunan tafsir al-Farra’ berorientasi secara mayor kepada penafsiran-penafsiran ahli bahasa dan ahli qira’at al-Qur’an.
Contoh Penafsiran al-Farra'
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwasannya al-Farra' adalah salah seorang ahli linguistik, sehingga tidak heran kalau produk penafsiran beliau lebih bercorak linguistik. Beliau lebih memfokuskan penafsirannya untuk mengupas aspek gramatikal al-Qur'an yang menurut beliau mungkin akan mempengaruhi terhadap pemaknaan al-Qur'an. Di bawah ini akan kami paparkan beberapa contoh bentuk penafsiran al-Farra' terhadap ayat-ayat al-Qur'an.
Surat Al-Fatihah 1-7
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
Artinya : "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (1) Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (2) Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (3) Yang menguasai Hari Pembalasan (4) Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan (5) Tunjukkanlah kami jalan yang lurus (6) (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (7). (QS. Al-Fatihah 1-7)
Dalam surat al-Fatihah ini tidak semua ayat oleh al-Farra' ditafsiri. Beliau hanya memilih beberapa kata yang mungkin perlu untuk dikupas lebih lanjut. Dalam surat ini penafsiran beliau hanya terkonsentrasi pada I'rabnya Alhamdulillah, ghair, dan la pada potongan ayat terakhir surat al-Fatihah (Wala al-Dhallin).
قوله تعالى: {الْحَمْدُ للَّهِ...} اجتمع القرّاء على رفع الحمد. وأمّا أهل البَدْو فمنهم من يقول : "الحمدَ لِلّه". ومنهم من يقول: "الحمدِ لِلّه ". ومنهم من يقول : "الحمدُ لُلّهِ" فيرفع الدال واللام
1. Pendapat mayoritas ulama ahli Qira'at adalah dengan membaca rafa' kata الْحَمْدُ .
2. Dengan membaca nasab, yakni الحمدَ لِلّه
Golongan ini berpendapat bahwasannya kata الحمد bukanlah berbentuk isim (kata benda) melainkan Mashdar. Dalam hal ini boleh membacanya dengan أحمد اللّه. Lebih lanjut golongan ini berargumen ketika kata tersebut cocok sebagai mashdar maka diperbolehkan dengan membaca nasab seperti di atas.
3. Dengan membaca khafad, yakni الحمدِ لِلّه
Kelompok ini beralasan bahwa kata tersebut telah populer pada lisan orang Arab, sehingga seakan-akan keduanya merupakan satu-kesatuan. Lebih lanjut kelompok ini menyatakan bahwa bagi Arab sangat sulit bagi mereka untuk mengumpulkan bacaan Dhammah dan Kasrah ataupun sebaliknya apabila berada dalam satu kata. Oleh karena itu sebagai jalan keluarnya maka dibacalah kasrah. Hal ini terasa lebih sesuai dengan kebiasaan mereka.
4. Dengan membaca rafa' huruf dal dan lam-nya, yakni الحمدُ لُلّهِ
Kelompok ini beragumen bahwasannya bacaan itu sesuai dengan kebanyakana nama Arab yang pada kata tersebut terkumpul dua dhammah, seperti kata الحُلُم والعُقُب
Pada bagian lain dalam kitab Tafsirnya al-Farra' menjelaskan di antara kebiasaan orang Arab adalah menjadikan dua kata seakan-akan satu kata apabila hal itu sering diucapkan. Orang Arab akan mengira bahwa dua kata tersebut merupakan satu-kesatuan. Seperti contoh orang Arab mengucapkan kata بِأَبَا sebagai ganti dari kata بِأَبِى.
وقوله تعالى: {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِم...}
بخفض "غيرِ" لأنها نعت للذين، لا للهاء والميم من "عليهم"
Kata غَيْرِ dibaca kasrah karena menjadi na'at dari kata الذين bukan na'at dari Ha dan Mim pada kata عليهم.
وأما قوله تعالى: {وَلاَ الضَّآلِّينَ...}
فإن معنى "غير" معنى "لا" فلذلك رُدّت عليها "ولا". هذا كما تقول: فلان غير محسن ولا مُجْمِل؛ فإِذا كانت "غير" بمعنى سوى لم يجز أن تُكَرَّ عليها "لا"؛ ألا ترى أنه لا يجوز: عندى سوى عبد الله ولا زيد.
Kata "غير" dan "لا" mempunyai makna yang sama yakni bukan. Seperti contoh perkataanmu فلان غير محسن ولا مُجْمِل (Orang yang tidak baik dan juga tidak tampan). Apabila غير bermakna سوى (selain) maka tidak boleh ada pengulangan dengan menggunakan kata .لا
[1] Muhammaad Ali an-Najjar dan Ahmad Yusuf Najafi “ Muqaddimah “ dalam Ma’anil Qur’an, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1983), hlm. 7
[4] Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 37
[5] Mani’ Abd Halim Mahmud, hlm. 37
[7]. Muh. Ali al-Najjar, Muqaddimah ..., hlm. 12-13
[8]. Dosen Tafsir Hadits, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras), 2004, hlm. 9
[9] . al-Farra’, Ma’anil Qur’an … hlm. 1
[10] Studi Kitab Tafsir, hlm. 12
[11] Ma’anil Qur’an, hlm 1-2
[12] Studi Kitab Tafsir, hlm. 14