Oleh : Halimatus Sa'diyah
Editor : Fairuz Kholili
Sholat Berjamaah
A. Kajian teks hadis
Dalam pembahasan ini akan dibahas secara langsung hadis yang berkaitan dengan materi shalat berjamaah diantaranya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“telah menceritakan kepada kita Yahya bin Yahya, berkata: saya membacakan kepada Malik dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW, bersabda: sholat berjama’ah itu lebih utama dari pada sholat sendirian, dua puluh derajat. (shahih Muslim).
B. Takhrij dan tahqiq hadis
Hadis di atas terdapat di beberapa kitab yaitu:
1. Shohih Muslim dalam bab beberapa Masjid dan tempat sholat no. 1038
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
2. Shohih Bukhori dalam bab Azan no. 609
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
3. Sunan At Tirmidzi dalam bab Sholat no. 199
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ عَلَى صَلَاةِ الرَّجُلِ وَحْدَهُ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَأَبِي سَعِيدٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَهَكَذَا رَوَى نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ تَفْضُلُ صَلَاةُ الْجَمِيعِ عَلَى صَلَاةِ الرَّجُلِ وَحْدَهُ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً قَالَ أَبُو عِيسَى وَعَامَّةُ مَنْ رَوَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا قَالُوا خَمْسٍ وَعِشْرِينَ إِلَّا ابْنَ عُمَرَ فَإِنَّهُ قَالَ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ
4. Sunan An Nasai dalam bab Imamah no. 828
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ عَلَى صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
5. Sunan Ibnu Majah dalam bab beberapa masjid dan jama’ah no. 781
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُمَرَ رُسْتَةُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَفْضُلُ عَلَى صَلَاةِ الرَّجُلِ وَحْدَهُ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
6. Musnad Ahmad dalam bab Mukatstsirin minas shohabah no. 5080
قَالَ قَرَأْتُ عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ : مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ عَلَى صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
7. Musnad Ahmad dalam bab Mukatstsirin minas shohabah no. 5518
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
8. Musnad Ahmad dalam bab Mukatstsirin minas shohabah no. 5651
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ عَنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
9. Musnad Ahmad dalam bab Mukatstsirin minas shohabah no. 6166
حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
10. Kitab Muwaththo’ Malik dalam bab ajakan untuk sholat no. 264
أَخْبَرَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ وَحْدَهُ سَبْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
11. Sunan Ad-Daromi dalam bab sholat no. 1246
أَخْبَرَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ وَحْدَهُ سَبْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Untuk mengetahui kualitas hadis di atas tersebut, maka terlebih dahulu kita lihat tentang kualitas para rawinya, diantaranya adalah:
a. Nama : Yahya bin Yahya bin Bakir bin Abdirrahman
Tabaqah : tabi’ fabi’in senior
Kunyah : Abu Zikri
Tempat tinggal : Hamsh
Tempat wafat : -
Tahun wafat : 226 Hijriyah
Kualitas : Tsiqah tsubut
b. Nama : Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amr
Tabaqah : tabi’ fabi’in senior
Kunyah : Abu ‘Abdillah
Tempat tinggal : Madinah
Tempat wafat : Madinah
Tahun wafat : 179 Hijriyah
Kualitas : orang yang paling bertaqwa dan istiqomah
c. Nama : Nafi’ Maula bin ‘Umar
Tabaqah : tabi’in
Kunyah :Abu ‘Abdillah
Tempat tinggal : Madinah
Tempat wafat : Madinah
Tahun wafat : 117 Hijriyah
Kualitas : tsiqah tsubut
d. Nama : ‘Abdullah bin ‘Umar bin Khoththob bin Nufail
Tabaqah : sahabat
Kunyah : Abu ‘Abdirrahman
Tempat tinggal : Madinah
Tempat wafat :-
Tahun wafat : 73 Hijriyah
Kualitas : adil dan dapat dipercaya
Setelah kita melihat penilaian hadis dari aspek perawinya, kemudian kita komparasikan hadis tersebut dengan hadis yang lainnya. Ada sebuah hadis yang dari segi tekstualnya kelihatan berlawanan dengan hadis di atas, seperti hadis di bawah ini:
و لهما عن ابي هريرة رضي الله عنه بخمس و عشرين جزءا
Artinya: Dan menurut riwayat keduanya (Al Bukhori dan Muslim) dari Abu Hurairah r.a. Dua puluh lima bagian (derajat).[1]
Dengan lafal dua puluh lima itu menurut riwayat Al Bukhori juga dari Abu Sa’id dengan lafal darajatan sebagai pengganti juzan (bagian). Bukhori juga meriwayatkan hadis itu dari sahabat lain: Anas, ‘Aisyah, Shuhaib, Mu’adz, Abdullah bin Zaid dan Zaid bin Tsabit.
At Turmudzi mengatakan, secara umum perawi menyatakan dengan kata dua puluh lima derajat, kecuali Ibnu Umar yang mengatakan dua puluh tujuh derajat. Ibnu Umar juga mempunyai riwayat lain yang menyebutkan dengan dua puluh lima derajat, dan hal tersebut tidak menjadikan dua periwatan hadis itu bertentangan, karena bilangan itu bukanlah yang menjadi pokok dalam informasi yang ingin disampaikan hadis tersebut.
Sekelompok ulama mengira bahwa dua puluh tujuh derajat bagi orang yang sholat berjama’ah di masjid, sedangkan dua puluh lima derajat itu bagi orang yang sholat berjama’ah di tempat selain masjid. Ada yang mengatakan bahwa yang dua puluh tujuh derajat itu bagi yang rumahnya jauh dari masjid, sedangkan yang dua puluh lima derajat itu bagi yang rumahnya dekat dengan masjid. Dalam kitab Fathul bari, diantara mereka menyatakan persamaannya disertai beberapa alasan yang hanya berdasarkan perkiraan belaka. Penafsiran kedua hadis tersebut pada intinya adalah tentang kelebihan pahala antara sholat sendirian dengan shalat berjama’ah.
Berdasarkan data-data diatas dapat disimpulkkan bahwa kualitas hadis itu adalah shahih marfu’, karena kualitas semua perowinya yang tsiqah dan kandungan matan yang tidak bertentang dengan beberapa hadis yang lain.
C. Makna mufradah
Jamaah menurut etimologi adalah sekelompok manusia yang memiliki kesamaan sifat. Jadi, shalat jama’ah adalah shalat yang dilakukan secara berkelompok .[2]
Shalat jama’ah menurut istilah fuqaha adalah pertalian yang terjadi antara shalat imam dan shalat makmum dengan berbagai ketentuannya.
Kata al fadzdzu itu sama dengan kata al fardu yang berarti : seorang diri atau sendirian.
D. Syarah dan Kandungan
Berdasarkan hadis tersebut diatas, Nabi Muhammad menganjurkan untuk sholat berjama’ah dan tidak mewajibkan sholat berjama’ah itu. Namun, ada banyak perbedaan ulama tentang hukum shalat jamaah, yang dengan perbedaan tersebut dapat ditarik beberapa hukum shalat jamaah, yaitu:
a. Wajib
Diantara ulama yang berpendapat fadlu ‘ain itu adalah: ‘Atho’, Al Auza’iy, Ahmad, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, Abdul ‘Abbas, dan ulama-ulama Zhohiriah. Daud mengatakan, bahwa berjama’ah itu, salah satu dari syarat syahnya sholat, berdasarkan pendapat yang terpilih olehnnya bahwa setiap yang wajib dalam sholat itu, maka termasuk syarat sahnya sholat. Hanya saja pendapat ini tidakboleh langsung diterima , karena hal itu harus didasarkan dalil. Dan ada ulama lain dan Ahmad mengatakan bahwa sholat berjama’ah itu wajib, tetapi bukan syarat sah sholat.[3]
Hal ini didasarkan pada dalil:
“Dari Abu Hurairah r.a. (katanya): Bahwasanya Rasulullah SAW, bersabda : Demi Allah yang nyawaku di atngannya, sungguh aku telah bercita-cita untuk menyuruh orang yang mengumpulkan kayu bakar sehingga terkumpul kayu bakar itu. Kemudian aku menyuruh mereka untuk sholat, lalu di adzankan untuk sholat ini, kemudian aku menyuruh seorang di antara mereka mengimami orang-orang itu, kemudian aku mendatangi orang-orang yang tidak menghadiri sholat berjama’ah itu, lalu saya akan bakar rumah-rumah mereka. Demi Allah yang nyawaku ditanganNya seandainya ada salah seorang dari mereka, bahwa mereka akan mendapatkan tulang yang berdaging gemuk atau daging paha yang baik, sungguh dia menghadiri sholat isya’. (Mutafaq ‘alaih, dan lafal ini menurut Al Bukhori).
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ بَيَانٍ الْوَاسِطِيُّ أَنْبَأَنَا هُشَيْمٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
“barangsiapa mendengar azan lalu ia tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali karena ada halangan. “ (HR Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
Al-‘Allamah ‘Alaudin As-Samarqondi-beliau adalah termasuk ulama senior dalam bidang fiqih madzhab Hanafi-berkata: “Sesungguhnya shalat berjamaah itu hukumnya wajib, meskipun ada beberapa shalat kami yang menyebutkan sunnah muakkad, namun keduanya sama. Adapun hukum asalnya adalah riwayat dari Rasulullah SAW bahwa beliau selalu mengerjakan shalat berjamaah secara teratur. Demikian pula, umat Islam dari sejak zaman Rasulullah SAW sampai hari kita sekarang ini, ditambah dengan pengingkaran terhadap orang yang meninggalkannya. Ini adalah batasan hukum wajib, bukan sunnah.” (lihat Tuhfatul Fuqaha, 1/358).[4]
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa shalat berjamaah hukumnya adalah fardhu ‘ain menurut mayoritas kaum salaf dan para ulama ahli hadis seperti imam ahmad, ishaq, dan yang lainnya, serta sekelompok sahabat yang lain. Adapun orang yang selalu meninggalkan shalat berjamaah adalah seseorang yang jelek, harus dilarang melakukan hal itu. Bahkan, dia harus diberi sanksidan pesaksiannya ditolak, walaupun ada yang mengatakan bahwa hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkad.[5]
b. Fardlu kifayah
Pendapat yang diunggulkan di kalangan Syafi’iyah (yakni pendapat Ibnu Syuraih, Abu Ishaq, dan kebanyakan tokoh mutaqaddimin), sebagian Malikiyah, dan salah satu pendapat Ahmad menyatakan bahwa shalat jamaah itu wajib kifayah, sehingga apabila umat islam di suatu lingkungan atau daerah tidak melaksanakan sholat berjamaah, maka seluruhnya berdosa dan bila sebagian dari mereka telah mengejarkan, maka gugurlah kewajiban shalat jamaah itu dari mereka semuanya.
c. Sunnat muakkad
Hanafiyah, Malikiyah, Ja’fariyah, sebagian Syafi’iyah (Qadhi ‘Iyadh), dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa shalat jamaah itu sunnah mu’akkad bagi laki-laki yang berakal dan mampu mengerjakannya tanpa kesulitan. Hal ini didasarkan hadis di awal tersebut.[6]
Atas dasar pendapat ini, maka orang yang meninggalkan shalat jamaah menurut Hanafiyah dan Malikiyah berdosa, sebab menurut mereka sunnah muakkad berarti suatu ketentuan hukum yang ditetapkan atau diwajibkan berdasarkan sunnah, dan mensahkan shalat tanpa dilakukan dengan berjamaah. Sedangkan menurut Qadhi Iyadh meninggalkan shalat jamaah hukumnya makruh.
Mengenai hukum shalat sunnah dengan berjamaah, juga ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama, diantaranya:[7]
Menurut Syafi’iyah shalat sunnah yang disyariatkan berjamaah ada tujuh, yaitu: Shalat Idul Fitri, shalat idul adha, shalat gerhana matahari, shalat gerhana bulan, shalat istisqa’, shalat tarawih, dan shalat witir. Adapun shalat sunnah yang tidak disyariatkan berjamaah ada dua macam, yaitu shalat sunnah rawatib yang mengikuti shalat fardhu, dan shalat sunnah yang bukan rawatib, seperti shalat tahajjud, shalat hajat, shalat istikharah, dan lain-lain.
Malikiyah juga menyatakan disyariatkannya shalat jamaah dalam ketujuh shalat tersebut kecuali shalat witir.
Akan tetapi dalam shalat yang tidak disyariatkan untuk dilakukan secara jamaah seandainya dilakukan secara berjamaah tidak makruh, kecuali menurut Malikiyah.
Ja’fariyah berpendapat tidak boleh berjamaah dalam sholat sunnah, baik shalat sunnah rutin harian maupun lainnya, kecuali shalat istisqa’ dan shalat id.
Rasulullah SAW lebih banyak melaksanakan shalat sunnah secara munfarid dan secara umum beliau bersabda,
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي النَّضْرِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهِ فِي مَسْجِدِي هَذَا إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ
“shalat seseorang di rumahnya adalah lebih utama daripada shalatnya di masjidku ini kecuali shalat fardhu.”(HR Abu Dawud dari Zaid bin Tsabit).
Hadis ini erat kaitannya dengan hadis-hadis yang menganjurkan agar sekali-kali rumah digunakan untuk shalat supaya mendapatkan berkahnya.
E. Kesimpulan hukum
dalam menyingkapi perbedaan pendapat di kalangan ulama perihal shalat jamaah. Mengenai hadis tentang ancaman pembakaran rumah yang dijadikan salah satu argumen para ulama dalam menghukumi shalat berjamaah itu wajib, menurut jumhuril ulama disikapi sebagai peringatan bagi orang-orang munafik, bukan sebagai peringatan fardhu. Pendapat ini diperkuat oleh konteks hadis, mengingat tidak ada suatu sangkaan pun yang menduga bahwa ada sahabat yang lebih memilih tulang yang penuh daging daripada menghadiri shalat jamaah bersama Rasulullah. Seandainya shalat jamaah hukumnya fardhu ‘ain, tentu hukuman bakar rumah tidak akan dihentikan oleh Rasulullah. Tetapi dalam kenyataannya beliau tidak melaksanakan pembakaran rumah, melainkan hanya berniat saja. Hal ini menunjukkan bahwa shalat jamaah bukanlah fardhu ‘ain.
Dalam riwayat lain diterangkan, bahwa Rasulullah berniat akan membayar rumah mereka adalah ketika meninggalkan shalat isya’. Dalam riwayat lain diterangkan, ketika meninggalkan shalat jumat. Sedang riwayat yang lain lagi menerangkan, ketika meninggalkan seluruh shalat lima waktu secara mutlak. Menurut pendapat yang terpilih, shalat jamaah hukumnya adalah fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain. Dan ini sangat lazim, serta banyak mendapat dukungan dari para ulama.
DAFTAR PUSTAKA
Nurkholis, Mujiyo. Meraih Pahala 27 Derajat. Jogja: Al-Bayan. 1995.
Muhammad, Abu Bakar. Terjemahan Subulus Salam. Surabaya: Al-Ikhlas. 1984.
Mustakim, Imam. Misteri Shalat Berjama’ah. Jogja: Mitra Pustaka. 2007.
Mahalli, Ahmad Mudjab. Hadis-Hadis Ahkam. Jakarta: Grafindo. 2003.
: Surabaya,1984, hlm. 74