Oleh : Halimatus sa’diyah, Ahmad Taher, Ahmad Farih Dzaki, Tholib Khoiril Wara’ dan Ahmad saikuddin
Editor : Fairuz Kholili
RUHUL MA’ANI
A. SETTING HISTORIS-BIOGRAFIS AL-ALUSI
Abu Sana’ Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Bagdadi. Beliau dilahirkan pada hari Jumat tanggal 14 Sya’ban tahun 1217 H/1802 M, di dekat daerah Kurkh, Baghdad, Irak.[1] Beliau seorang ulama Irak yang pernah menjabat mufti Baghdad, maha guru, pemikir, ahli ilmu agama dan ahli berpolemik. Keluarga besarnya, al-Alusi, merupakan keluarga terpelajar di Baghdad pada abad ke-19. Nama al-Alusi berasal dari kata Alus, suatu tempat di tepi barat Sungai E
ufrat, yaitu antara kota Abu Kamal dan kota Ramadi.[2]
ufrat, yaitu antara kota Abu Kamal dan kota Ramadi.[2]
Sejak ia mudah, ia dibimbing oleh ayahnya sendiri yaitu Syaikh al-Suwaidi, selain itu ia juga berguru kepada Syaikh al-Naqsabandi. Dari imam al-Naqsabandiah beliau belajar tentang ilmu tasawuf. Oleh karena itu, wajar jika dalam penafsirannya ia menggunakan pendekatan sufistik sebagai upaya mengungkapkan makna batin (esoteris).[3] Pada waktu itu juga, ia sudah rajin mengajar di berbagai perguruan tinggi dan mengarang beberapa buku. Al-Allusi pernah menjadi penanggung jawab wakaf Madrasah Marjaniyah, sebuah yayasan pendidikan yang mensyaratkan penanggung jawabnya adalah seorang tokoh keilmuan di negeri itu, pada tahun 1248. Namun, setelah itu pada tahun 1263 H, beliau melepaskan jabatan itu dan lebih memilih untuk konsentrasi kepada penyusunan kitab tafsir Ruh al-Maani.
Sebagai pendidik, beliau sangat perhatian kepada kebutuhan para muridnya, sehingga banyak orang yang menaruh perhatian kepada pendidikan. Metode pengajaran al-Allusi adalah mendektekan dan mengemukakan perumpamaan-perumpamaan dengan jelas dan mudah dimengerti.[4]
Sebagai mufassir, ia juga menaruh perhatian kepada beberapa ilmu qiraat, seperti ilmu Qiraah, ilmu Munasabah, dan ilmu Asbabun Nuzul. Ia banyak melihat syair-syair Arab yang mengungkapkan suatu kata, dalam menentukan Asbabun Nuzulnya.[5]
Sekitar tahun 1248 H, al-Allusi mengikuti fatwa-fatwa para kalangan Hanafiyah. Ia sudah mendalami dalam perbedaan madzhab-madzhab serta berbagai corak pemikiran dan aliran akidah. Ia beraliran salaf dan bermadzhab Syafii, meskipun ia banyak mengikuti Imam Hanafi dalam banyak hal, namun, ia banyak menggunakan ijtihad.[6]
Hasil karya tulisan beliau antara lain: Hasyiyah ‘ala al-Qatr al-Salim tentang ilmu logika, al-Ajwibah al-‘Iraqiyyah Iraniyyah, Durrah al-Gawas fi Awham al-Khawass, al-Nafakhat al-Qudsiyyah fi Adab al-Bahs Ruh al-Maani fi Tafsir al-Quran al-Azmi wa al-Sab’i al-Masani dan lain-lain. Beliau wafat pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H, dimakamkan di dekat kuburan Syaikh Ma’ruf al-Karkhi, salah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal di kota Kurkh.[7] Setelah meninggal, kitab Ruh al-Maani disempurnakan oleh anaknya, as-Sayyid Nu’man al-Alusi.
Ada yang menyebutkan bahwa nama kitab tersebut diberikan oleh Perdana Menteri Rida Pasya. Tafsir tersebut pernah mendapat sanjungan Sultan Abdul Majid Khan ketika ia mengunjungi kota Constantinopel pada tahun 1267 H dan memperkenalkan karyanya. Dan di kota ini ia pernah menetap selama 2 tahun.[8]
B. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN KITAB
Latar belakang penyusunan kitab Ruhul Ma’ani ini berasal dari mimpi al-Alusi pada suatu malam, yaitu pada malam jum’at di bulan rajab tahun 1252 H. Di dalam mimpi tersebut ia disuruh Allah SWT untuk melipat langit dan bumi lalu disuruh untuk memperbaiki bekas-bekas dari kerusakan yang ada padanya,kemudian ia mengangkat salah satu tangannya ke langit dan meletakkan tangan yang satunya lagi ke tempat air, lalu ia terbangun dari tidurnya. Kemudian ia menemukan ta’wil dari mimpinya tersebut pada beberapa kitab bahwa hal tersebut adalah suatu isyarat yang menyuruh ia untuk menyusun kitab tafsir.
Pada bulan sya’ban tepatnya pada malam jum’at tanggal 16 sya’ban tahun 1252 H al-Alusi mulai menyusun sebuah kitab tafsir yakni kitab tafsir al-Alusi ini dan pada saat itu umurnya 34 tahun (pada masa sultan Mahmud Khon Ibn Sulton Abdul Majid Khon), dan ia selesai dari menyusun kitab tersebut pada malam selasa di bulan rabi’ul akhir tahun 1267 H (disusun dalam kurun waktu 15 tahun). Setelah ia meninggal kitab tersebut disempurnakan oleh anaknya, as-Sayyid Nu’man al-Alusi[9].
Adapun yang memberikan nama kitab tafsir ini adalah perdana menteri saat itu (wazirul wuzaroi) yang bernama Ridho pasya (basya) setelah lama al-Alusi mempertimbangkan judulnya, dan ketika Ridho Pasya memberi nama tersebut, al-Alusi pun setuju, yakni dengan nama Ruhul Ma’ani fi Tafsiril Qur’anil Adzim was Sab’il Matsani (semangat makna dalam tafsir al-Qur’an yang agung dan sab’ul matsani/ al-Fatihah).[10]
Kitab tafsir ini sempat mengundang takjub dan senang sultan Abdul Majid Khon ketika ia mengunjungi kota qistintiniyyah (sekarang kostantinopel atau istanbul, ibukota turkey waktu dulu) pada tahun 1267 H. Al-Alusi menetap di kota ini selama dua tahun (1267 H – 1269 H). Menurut suatu kisah, diceritakan bahwa dalam masa penyusunan kitab ruhul ma’ani ini terdapat suatu kisah/cerita yang ajaib, yakni bahwa al-Alusi seharian penuh menggunakan waktunya untuk mengajar, sedangkan pada malam hari juga dipergunakan untuk mengajar, jadi kemungkinan al-Alusi hanya menyusun kitab tersebut pada malam hari saja.
C. METODOLOGI
Berbicara metodologi pada prinsipnya adalah berbicara tentang proses dan prosedur dalam melakukan penelitian atau penulisan, termasuk dalam komponen metodologi adalah metode, pendekatan, sistematika penyajian dan sumber sumber penafsiran.
Metode yang dipakai oleh al-Alusi dalam menafsirkan al-Qur'an adalah metode tahlili.[11] Salah satu yang menonjol dalam tahlili (analisis) adalah bahwa seorang mufassir akan berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat dalam ayat yang ditafsirkan. Maka biasanya mufassir akan menganalisis dari segi bahasa, asbab al-nuzul, nasikh-mansukhnya dan lain-lain.
Masadir (sumber-sumber) penafsiran yang dipakai al-Alusi berusaha memadukan sumber al-ma'sur (riwayat) dan alra'yi (ijtihad). Artinya bahwa riwayat dari Nabi atau sahabat atau bahkan tabi'in tentang penafsiran al-Qur'an dan ijtihad dirinya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Berdasarkan hal inilah tafsir al-Alusi digolongkankan kepada tafsir bil-Ro’yi, karena dalam tafsirnya lebih mendominasi ijtihadnya atau ro’yinya. Hal ini juga bisa dilihat pada isi muqoddimah kitabnya(pada faedah yang ke-dua), ia menyebutkan beberapa penjelasan tafsir bil-Ro’yi dan argumen tentang bolehnya tafsir bil-Ro’yi, termasuk kitab tafsir bil-Ro’yinya tersebut[12].
Pendekatan yang dipakai dalam menafsirkan salah satunya adalah pendekatan sufistik (Isyary), meskipun ia juga tidak mengesampingkan pendekatan bahasa, seperti nahwu-.saraf balagah, pendekatan makna dhohir dan batin ayat, dan sebagainya. Bahkan sebagaimana penilaian al-Zahabi, porsi sufistiknya relatif lebih sedikit.
Sistematika sebagai langkah metodis yang ditempuhnya, biasanya al-Alusi menempuh langkah-langkah di bawah ini:
1. Menyebutkan ayat-ayat al-Quran dan langsung menjelaskan makna kandungan ayat demi ayat.
2. Dalam analisisnya, terkadang juga al-Alusi menyebutkan asbab al-nuzul terlebih dahulu, namun kadang beliau langsung mengupas dari segi gramatikanya, kemudian mengutip riwayat hadis atau qawl tabi'in[13].
3. Menerangkan kedudukan suatu kata atau kalimat yang ada di dalam ayat tersebut dari segi kaidah bahasa (ilmu nahwu).
4. Menafsirkan dengan ayat-ayat lain.
5. Memberikan keterangan dari hadis Nabawi bila ada.
6. Mengumpulkan pendapat para penafsir terdahulu.
D. KAJIAN KITAB
Ada beberapa topik pembicaraan atau permasalahan yang bisa kita temukan dalam tafsir al-Alusi dan juga beberapa poin penting, antara lain :
1. Tafsiran Tentang Hukum Fiqh.
Al-Alusi tidak membahas panjang lebar tentang ayat-ayat ahkam kecuali apabila ada perbedaan hukum antara imam madzhab dan ketika ia menilai tentang penjelasan imam-imam mazdhab, ia tidak fanatik dengan madzhabnya sendiri. Hal ini bisa dibuktikan ketika ia menjelaskan tafsir QS al-Baqoroh ayat 228 tentang penjelasan iddah pada kata tsalatsata quru’ . Ketika ia selesai menyebutkan tentang pendapat imam hanafi (madzhabnya al-Alusi) bahwa hanafi berpendapat quru’ itu adalah masa haid dan imam syafi’i berpendapat quru’ itu masa suci, ia kemudian menyimpulkan bahwa pendapat yang paling kuat adalah pendapatnya syafi’i[14].
2. Tafsiran Tentang Cerita Isroiliyyat.
Terhadap riwayat-riwayat isra'iliyat yang sering disusupkan dalam beberapa literatur hadis dan tafsir, al-Alusi dinilai sangat selektif dan kritis dalam mengambil riwayat-riwayat isra'iliyat. Hal itu disebabkan karena beliau banyak menekuni disiplin ilmu hadis dan banyak bergaul dengan para ulama ahli hadis muta'akhirin. Kalaupun al-Alusi menyebutkan riwayat-riwayat isra'iliyat atau hadis maudu’ hal itu bukan dimaksudkan sebagai dasar penafsiran, melainkan untuk menunjukkan kebatilan riwayat tersebut dan memberikan tahzir (peringatan) kepada kaum muslimin, terutama para peneliti dan mahasiswa. Hal ini bisa dilihat ketika ia menafsirkan QS Hud ayat38, ia menyebutkan beberapa cerita isroiliyyat tentang kayu-kayuan yang djadikan bahan dasar perahu, ukurannya panjangnya,lebarnya, tingginya dan tempat membuat kapal. Kemudian ia mencantumkan pernyataannya bahwa “ cerita tersebut tidak benar dan kapal itu tidak layak dipakai untuk berlayar, dan penjelasan yang aman dalam cerita ini dan tidak berlebih-lebihan adalah bahwa kita meyakini nabi Nuh AS membuat kapal sesuai dengan yang diceritakan Alloh dalam kitabnya dan tidak usahlah kita terlalu detail mengatakan tentang panjangnya, lebarnya, tingginya dan dari kayu apa dibuat atau berapa lama diselesaikan perakitannya karena hal ini tidak dijelaskan dalam kitabdan tidak dijelaskan oleh sunnah yang shoheh”[15].
3. Tafsiran Tentang Ayat-Ayat Kauniyyah.
Al-Alusi juga menjelaskan tentang pemahaman-pemahaman ahli astronomi dan para peneliti (ilmuan) kemudian ia menjelaskan pendapat/ilmuan mana yang ia setujui pendapatnya dan mana yang tidak (ada yang ia setujui dan ada yang tidak). Hal ini bisa kita lihat ketika ia menafsirkan QS Yasin ayat 39,39,dan 40. Begitu juga pada penafsiran QS ath-tholaq ayat 12. Akantetapi kami tidak bisa menjelaskan lebih lanjut tentang hal ini karena cukup panjang sekali untuk dimuat dalam makalah ini.
4. Posisi Ruhul Ma’ani Terhadap Pemahaman yang Menyalahi Faham Sunni.
Al-Alusi adalah seorang ulama yang berakidah salaf dan berfaham sunni, inilah sebabnya ia selalu mencoba menjelaskan tentang pemahaman-pemhaman yang keliru dari golongan mu’tazilah, syi’ah dan golongan-golongan lain yang menyalahi pemahaman sunni. Hal ini bisa dilihat ketika ia menafsirkan Qs al-Jumuah ayat 11.al-Alusi berkata “ kaum syi’h mencela para sahabat, mereka lebih memilih dunia daripada akhirat karena mereka berpaling kepada permainan dan tijaroh ketika nabi berkhutbah dalam sholat jum’at. AL-Alusi menjawab: Abu Bakar, Umardan sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira karena merupakan penghuni surga masih tinggal bersama rasul(tidak ikut keluar), juga cerita ini terjadi pada awal hijrah yang pada waktu itu kebanyakan mereka tidak tahu dengan baik tentang hal ini. Inilh sebabnya mereka tidak sampai dimurka alloh dengan memasukkan mereka kedalam neraka, bahkan hanya memperingati dan menashihati mereka”[16].
5. Posisi Ruhul Ma’ani Terhadap Kitab-Kitab Sebelumnya.
Dalam menjelaskan makna kandungan ayat yang ditafsirkan, al-Alusi sering mengutip pendapat para mufassir sebelumnya, baik salaf maupun khalaf. Kemudian beliau memilih pendapat yang dianggap paling tepat.Jadi kitab ini adalah gabungan antara kitab-kitab sebelumnya. Bagi para pembaca kitab tafsir Ruh al-Ma’ani, perlu mengetahui istilah khusus yang dipakai al-Alusi. Misalnya, apabila yang dikutip pendapat Abu Su'ud, istilah yang dipakai : "qala Syaikh al-Islam". Jika yang dikutip pendapat Fakhruddin al-Razi, maka digunakan istilah : "qala al-imam". Dan jika beliau mengutip dari pendapat al-Baidawi, maka dikatakan: "qala al-Qadi”[17].
6. Dalam tafsir ini, al-Alusi juga menjelaskan tentang qiroat-qiroat akan tetapi ia terkadang tidak menjelaskan tentang qiroat mana yang mutawatir. Ia juga mencantumkan munasabat antara surah dengan surah maupun munasabat antara ayat dengan ayat. Tidak lupa juga ia menjelaskan tentang asbabun nuzul ayat yang punya sabubun nuzul, ia sering meruju’ pada sya’i-sya’ir arab yang mengungkapkan arti suatu kata. Komentar al-Alusi juga terkadang sangat luas tentang tatabahasa (nahu) sampai-sampai terkadang melampaui kapasitasnya sebagai seorang mufassir.
7. Al-Alusi juga menjelaskan tafsir al-isyari dalam kitab tafsir ini sesudah selesai menjelaskan tafsir yang berkaitan dengan dzhohir ayat, hal inilah yang menyebabkan sebagian ulama menilai bahwa kitab tafsir ini adalah kitab tafsir isyari (seperti tafsir an-Naisaburi). Akan tetapi adz-Dzahabi menilai kitab ini adalah kitab tafsir bi al-Ro’yi karena maksud utama al-Alusi bukanlah tafsir isyari, sebab tafsir isyari-nya hanya sebagai tambahan bagi tafsir dzohirya.
8. Dalam muqoddimah kitabnya ia menyebutkan beberapa catatan faedah[18], diantaranya tentang :
Penjelasan tentang tafsir, ta’wil dan pentingnya ilmu tafsir.
Syarat-syarat seorang mufassir dan penjelasan tafsir bi al-Ro’yi.
Nama nama lain dari al-Qur’an dan makna al-Qur’an itu sendiri.
Perbedaan pendapat tentang sab’atu ahruf.
Penjelasan tentang adanya makna dzohir dan batin ayat.
E. CONTOH APLIKASI PENAFSIRAN
وَإِذْ آَتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَالْفُرْقَانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (53)
( الكتاب ) التوراة بإجماع المفسرين في الفرقان أقوال :
الأول : إنه هو التوراة أيضاً ، والعطف من قبيل عطف الصفات للإشارة إلى استقلال كل منها ، فإن التوراة لها صفتان يقالان بالتشكيك ، كونها كتاباً جامعاً لما لم يجمعه منزل سوى القرآن ، وكونها ( فرقاناً ) أي حجة تفرق بين الحق والباطل قاله الزجاج ويؤيد هذا قوله تعالى : { وَلَقَدْ ءاتَيْنَا موسى * وهارون الفرقان * وَضِيَاء وَذِكْراً } [ الأنبياء : 8 4 ]
الثاني : أنه الشرع الفارق بين الحلال والحرام ، فالعطف مثله في : { تَنَزَّلُ الملائكة والروح } [ القدر : 4 ] قاله ابن بحر .
الثالث : أنه المعجزات الفارقة بين الحق والباطل من العصا واليد وغيرهما قاله مجاهد .
الرابع : إنه النصر الذي فرق بين العدو والولي ، وكان آية لموسى عليه السلام ، ومنه قيل ليوم بدر : يوم الفرقان ، قاله ابن عباس رضي الله تعالى عنهما ، وقيل : إنه القرآن ، ومعنى إتيانه لموسى عليه السلام نزول ذكره له حتى آمن به ، حكاه ابن الأنباري وهو بعيد وأبعد منه ، ما حكي عن الفراء وقطرب أنه القرآن والكلام على حذف مفعول أي ومحمداً الفرقان وناسب ذكر الاهتداء إثر ذكر إتيان موسى ، الكتاب والفرقان لأنهما يترتب عليهما ذلك لمن ألقى السمع وهو شهيد .
Dalam contoh tafsir di atas terjadi berbagai perbedaan pendapat mengenai makna “al-furqan” adapun diantara pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Ø Menurut al-Zujaj, sesungguhnya yang dimaksud dengan kata al-furqan dalam ayat ini adalah kitab taurat.
Ø Ibnu Bahr berkata bahwa al-furqan adalah jalan pembeda antara sesuatu yang halal dan haram
Ø Sedangkan menurut Mujahid, yang dimaksud al-furqan disini adalah suatu mu’jizat untuk membedakan antara hal yang Haq (benar) dan Batil (salah)
Ø Pendapat yang ke-empat mengatakan bahwa al-furqan di sini adalah bentuk pertolongan yang berbeda antara musuh dengan seorang penolong sejati.
Ø Dan ada yang mengatakan maksud dari kata al-furqan adalah al-Qur’an, dengan memakai kaedah hazhful maf’ul , yaitu dengan membuang kata “Muhammadan” sebelumnya.
2. Cerita Isroiliyat
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آَتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا (65)
{ فَوَجَدَا عَبْدًا مّنْ عِبَادِنَا } الجمهور على أنه الخضر بفتخ الخاء وقد تكسر وكسر الضاد وقد تسكن ، وقيل اليسع ، وقيل الياس ، وقيل ملك من الملائكة وهو قول غريب باطل كما في شرح مسلم ، والحق الذي تشهد له الأخبار الصحيحة هو الأول ، والخضر لقبه ولقب به كما أخرج البخاري وغيره عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لأنه جلس على فروة بيضاء فإذا هي تهتز من خلفه خضراء .
Dalam Contoh Tafsiran Ayat Ini, Kita Dapat Mengetahui Bagainmana Cara Al-Alusi Menafsirkan Ayat-Ayat Isroiliyat. Yaitu Yang Pertama Dengan Mengatakan Pendapat Para Jumhurul Ulama’. Adapun Maksud Kata Abdan Dalam Ayat Ini Menurut Jumhurul Ulama’ Adalah Khidir, Dan Juga Ada Yang Mengatakan Yusa’,Ilyas,Dan Juga Ada Yang Mengatakan Abdan Disini Adalah Salah Satu Malaikat, Namun Pendapat Ini Dipandang Gharib . Adapun Pendapat Yang Paling Kuat Adalah Pendapat Yang Pertama Yaitu “Khidir”.
Untuk memperkuat pendapatnya ini beliau (Al-alusi) menggunakan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan lainnya yang berbunyi, “ Sesungguhnya musa duduk diatas bebatuan yang putih maka ketika ia bergetar dari belakangnya kehijau-hijauan”.
3. Tafsir al-Alusi yang Berkaitan dengan Qiraat
Berikut ini merupakan contoh bagaimana al-Alusi dalam menafsirkan potongan ayat al-quran yang berkaitan dengan qiraat:
وحكى اللغويون في { عَلَيْهِمْ } عشر لغات ضم الهاء وإسكان الميم وهي قراءة حمزة ، وكسرها وإسكان الميم وهي قراءة الجمهور ، وكسر الهاء والميم وياء بعدها وهي قراءة الحسن ، قيل وعمر بن خالد وكذلك بغير ياء وهي قراءة عمر بن فائد ، وكسر الهاء وضم الميم بواو بعدها وهي قراءة ابن كثير وقالون بخلاف عنه وضم الهاء والميم وواو بعدها وهي قراءة الأعرج ومسلم بن جندب وجماعة ، وضمهما بغير واو ونسبت لابن هرمز وكسر الهاء وضم الميم بغير واو ونسبت للأعرج والخفاف عن أبي عمرو وضم الهاء وكسر الميم بياء بعدها وكذلك بغير ياء وقرىء بهما أيضاً . وحاصلها ضم الهاء مع سكون الميم أو ضمها بإشباع أو دونه أو كسرها بإشباع أو دونه وكسر الهاء مع سكون الميم أو كسرها بإشباع أو دونه أو ضمها بإشباع أو دونه . وحجج كل في كتب العربية .[19]
Dalam kitab ruh al-ma’ani diterangkan bahwasannya dalam lafadz عَلَيْهِمْ , al-Alusi menerangkan ada sepuluh ragam qiraat yang telah disampaikan oleh para ahli bahasa/linguistik, di antaranya:
a. Ha’ dhommah dan mim sukun, qiraat imam Hamzah.
b. Ha’ kasroh dan mim sukun, qiraat jumhur.
c. Ha’ kasroh dan mim kasroh yang ada ya’ setelahnya, qiraat al-Hasan.
d. Ha’ kasroh dan mim kasroh tanpa ya’, menurut Umar bin Khalid, qiraat ‘Amr bin Faid.
e. Ha’ kasroh dan mim dhommah dengan wawu setelahnya, qiraat Ibnu Katsir.
f. Ha’ dhommah dan mim dhommah yang setelahnya ada wawu, qiraat al-A’raj dan Muslim bin Jandab dan segolongan ulama’.
g. Ha’ dhommah dan mim dhommah dengan tanpa wawu, dinisbatkan kepada Ibnu Harmaz
h. Ha’ kasroh dan mim dhommah dengan tanpa wawu, dinisbatkan kepada al-A’raj dan Khafaf dari Abi Umar.
i. Ha’ dhommah dan mim kasroh dengan ya’ setelahnya.
j. Ha’ dhommah dan mim kasroh dengan tanpa ya’.
Dari kesepuluh ragam qiraat diatas, beliau tidak memberikan penjelasan qiraat mana yang mempunyai sanad mutawatir sampai sanad Rasulullah SAW. Namun, dalam potongan ayat yang lain, seperti dalam surat al-Fatihah ayat empat, beliau menjelaskan ragam bacaan qiraat yang ada di dalamnya serta menyertakan bacaan mana yang mutawatir. Contoh argumen penafsirannya mengenai qiraat yang mutawatir adalah sebagai berikut:
والمتواتر منها قراءة ( مالك ) و ( ملك ) فهما نيرا سواريها وقطبا فلك دراريها ، واختلف في الأبلغ منهما قال الزمخشري : و ( ملك ) هو الاختيار لأنه قراءة أهل الحرمين ولقوله تعالى : { لّمَنِ الملك } [ غافر : 16 ] ولقوله تعالى : { مَلِكِ الناس } [ الناس : 2 ] ولأن الملك يعم والملك يخص ورجحه صاحب «الكشف» أيضاً بأنه يلزم على قراءة ( مالك ) نوع تكرار لأن الرب بمعناه أيضاً وبأنه تعالى وصف ذاته المتعالية بالملكية عند المبالغة في قوله { مالك الملك } [ آل عمران : 6 2 ] بالضم دون المالكية .[20]
F. KOMENTAR PARA ULAMA TERHADAP TAFSIR RUH AL-MAANI
Tafsir Ruh al-Ma'ani dinilai oleh sebagian ulama sebagai tafsir yang bercorak isyari (tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin berdasar isyarat atau ilham dan ta'wil sufi) sebagaimana tafsir al-Naisaburi. Namun anggapan ini dibantah oleh al-Zahabi dengan menyatakan bahwa tafsir Ruh al-Ma’ani bukan untuk tujuan tafsir isyari, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir isyari. Al-Zahabi memasukkan tafsir al-Alusi ke dalam tafsir bi al-ra’yi al-mahmud (tafsir berdasar ijtihad yang terpuji).
Ada ulama sependapat dengan al-Zahabi, sebab memang maksud utama dari penulisan tafsir bukan untuk menafsirkan al-Qur'an berdasarkan isyarat-isyarat, melainkan menafsirkan al-Qur'an berdasarkan apa yang dimaksud oleh lahirnya ayat dengan tanpa mengabaikan riwayat yang sahib. Meskipun tidak dapat diingkari, bahwa beliau juga memberikan penafsiran secara isyari, tetapi porsinya relatif lebih sedikit dibanding yang bukan isyari. Menentukan corak suatu tafsir mesti berdasarkan kecenderungan yang paling menonjol dari sekian kecenderungan.
Imam Ali al-Sabuni sendiri juga menyatakan bahwa al-Alusi memang memberi perhatian kepada tafsir isyari, segi-segi balagah clan bayan. Dengan apresiatif beliau lalu mengatakan bahwa tafsir al-Alusi dapat dianggap sebagai tafsir yang paling baik untuk dijadikan rujukan dalam kajian tafsir bi al-riwayah, bi al-dirayah dan isyarah.
Menurut al-Zahabi dan Abu Syuhbah, tafsir Ruh al-Ma'ani merupakan kitab tafsir yang dapat menghimpun sebagian besar pendapat para mufassir dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjih terhadap pendapat-pendapat yang beliau kutip. Di samping itu, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab, Rasyid Rida juga menilai bahwa al-Alusi sebagai mufassir yang terbaik di kalangan ulama muta'akhkhirin karena keluasan pengetahuannya menyangkut pendapat-pendapat muta’akhkhirin dan mutaqaddimin. Namun, al-Alusi tidak lupus dari kritikan. seperti, dia dituduh sebagai penjiplak pendapat ulama-ulama sebelumnya, bahkan tanpa merubah redaksi-redaksi yang dijiplaknya.[21]
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa tafsir al-Alusi menggunakan metode tahlili, pendekatan sufistik (menurut adz-Dzahabi ini hanya sedikit) , bahasa serta ilmu-ilmu lainnya. Dengan ijtihadnya dalam penafsirannya berimplikasi pada corak tafsirnya disebut sebagai tafsir bil-ra’yi. Sumber‑sumber yang dipakai, di samping dirayah juga riwayah. Sistematika isi penafsirannya adalah menyebutkan ayat-ayat al-Quran dan langsung menjelaskan makna kandungan ayat demi ayat, dalam analisisnya, terkadang juga al-Alusi menyebutkan asbab al-nuzul terlebih dahulu, namun kadang beliau langsung mengupas dari segi gramatikanya, kemudian mengutip riwayat hadis atau qawl tabi'in, menerangkan kedudukan suatu kata atau kalimat yang ada di dalam ayat tersebut dari segi kaidah bahasa (ilmu nahwu), menafsirkan dengan ayat-ayat lain, memberikan keterangan dari hadis Nabawi bila ada, mengumpulkan pendapat para penafsir terdahulu. Kandungan isi penafsirannya ada yang membahas tentang ayat-ayat kauniyah, cerita israiliyat, tentang qiraah, dan pertentangannya dengan aliran yang bukan suni, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Hamim. Studi Kitab Tafsir. Jogjakarta: Teras. 2004.
Basuki, Hafiz. Ensiklopedi Islam jilid V. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove. 1993.
Adz-Dzahabi. at-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Darul Hadis, 2005.
Al-Alusi. Ruhul Ma’ani. Beirut-Libanon: Idarah Tiba’ah Munirah. 1971.