content top

Selasa, 06 Maret 2012

Tafsir Ibnu Katsir


Tafsir Ibnu Katsir



  1. Biografi dan perjalanan Hidup Ibnu Katsir
Nama lengkap Ibnu Katsir ialah, Abul Fidâ` ‘Imaduddin Isma’il bin Syeikh Abi Hafash Syihabuddin Umar bin Katsir bin Dla`i Ibnu Katsir bin Zarâ` al-Qursyi al-Damsyiqi. Ia di lahirkan di kampung Mijdal, daerah Bashra sebelah timur kota Damaskus  pada tahun 700 H. Ayahnya berasal dari Bashra, sementara ibunya berasal dari Mijdal. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Hfsh Umar ibnu Katsir. Ia adalah ulama yang faqih serta berpengaruh di daerahnya. Ia juga terkenal dengan ahli
ceramah. Hal ini sebagaimana di ungkapkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya (al-Bidâyah wa al-Nihâyah). Ayahnya lahir sekitar tahun 640 H, dan ia wafat pada bulan Jumadil ‘Ula 703 H. di daerah Mijdal, dan dikuburkan di sana[1].
Ibnu Katsir adalah seorang pemikir dan ulama Muslim. Beliau lahir pada tahun 1301M di Busra, Suriah dan wafat pada tahun 1372 M di Damaskus, Suriah. Tercatat, guru pertamanya adalah Burhanuddin al-Fazari, seorang ulama penganut mazhab Syafi'i. Ia berguru kepada Ibnu Taymiyyah di Damaskus, Suriah dan kepada Ibnu al-Qayyim. Ibnu Katsir menulis tafsir Qur'an yang terkenal yang bernama Tafsir Ibnu Katsir. Hingga kini, tafsir ini merupakan yang paling sering digunakan dalam dunia Islam[2].
Sebagian pendapat yang lain mengatakan bahwa Nama lengkap ibnu katsir ialah, Isma’il bin Umar bin Katsir bin Dhau bin Dhar’in yang kemudian dipanggil “Abu al-Fida” dan beliau dijuluki dengan “Imaduddin” yang berarti tiang agama, yang sampai sekarang ini beliau terpanggil dengan sebutan “Al-Hafidh Ibnu Katsitr”[3].
·         Guru-guru beliau adalah Burhanuddin al-Fazari, seorang ulama penganut mazhab Syafi'i, konon beliau adalah guru yang pertama Imam Ibnu Katsir.
·         Ibnu Taymiyyah, beliau berguru pada Ibnu Taimiyah ketika beliau di Damakus, Suriah. Dalam Tafsir wal Mufassirun disebutkan bahwa Ibnu Qadhi Syuhbah mengatakan bahwa Ibnu Katsir mempunyai hubungan kusus dengan Ibnu Taimiyah dan beliau banyak mengikuti pendapatnya Ibnu Taimiyah. Misalnya dalam masalah talaq, beliau berfatwa dengan pendapat gurunya ini sehingga dengan sebab masalah ini beliau difitnah dan disakiti oleh banyak orang. Tidak hanya itu, saking dekatnya hubungan Ibnu Katsir dengan gurunya (Ibnu Taimiyah) jenazahnya dimakamkan disamping makam Ibnu Taimiyah, di Sufiyah, Damaskus.
·         Ibnu al-Qayyim, beliau juga termasuk salah satu murid dari Ibnu Taimiyah.
·         Jamalluddin Al-Mizzi, Ia adalah seorang ulama yang pakar dibidang hadis di Suriah, dan pada akhirnya beliau menikahkan Ibnu Katsir dengan putri beliau. Oleh sebab itu beliau cukup lama hidup di Suriah.
·         Imam Ibnu Asakir
·         Imam Az-Dzahabi. Dan masih banyak lagi guru beliau yang tidak kami sebutkan.
Karena begitu tinggi keilmuan yang dimiliki Ibnu Katsir, maka hal itu mengundang sebagian orang yang ingin berguru kepada beliau. Namun sayangnya data sejarah kurang memperhatikan masalah ini. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Syihabuddin Ibnu Hijji. Ia pernah berkomentar mengenai gurunya yaitu, “Dia adalah orang yang pernah kami temui dan yang paling kuat hafalanya terhadap matan hadis, dan paling paham dengan tahrij dan perawinya, dapat membedakan yang hadis sahih dengan hadis yang lemah, banyak menghafal berbagai kitab tafsir dan kitab tarikh, jarang sekali lupa dan memiliki pemahaman yang baik serta agama yang benar.”Dia termasuk seorang pakar dalam bidang fikih, tafsir, nahwu, sejarah, hadits, dan ilmu rijal hadits.Dalam kesibukannya dia selain sebagai seorang mufti yang sangat diakui keilmuannya oleh ulama pada waktu itu, dia juga seorang pengajar[4].
Ibnu Katsir adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Hal ini sebagaimana yang ia utarakan; anak yang paling besar di keluarganya laki-laki, yang bernama Isma’il, sedangkan yang paling kecil adalah saya. Kakak laki-laki yang paling besar bernama Ismail dan yang paling kecilpun Ismail.
Sosok ayah memang sangat berpengaruh dalam keluarga. Kebesaran serta tauladan ayahnyalah pribadi Ibnu Katsir mampu menandingi kebesaran ayahnya, bahkan melebihi keluasan ilmu ayahnya. Dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, serta senantiasa menjunjung nilai-nilai keilmuan, mampu melahirkan sosok anak saleh dan bersemangat dalam mencari mutiara-mutiara ilmu yang berharga dimanapun. Dengan modal usaha dan kerja keras Ibnu Katsir menjadi sosok ulama yang diperhitungkan dalam percaturan keilmuan.
Ibnu Katsir mulai sejak kecil mencari ilmu. Semenjak ayahnya wafat -kala itu Ibnu Katsir baru berumur tiga tahun-, selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahab yang mendidik dan mengayomi Ibnu Katsir kecil. Dan genap usia sebelas tahun, Ia selesai menghafalkan al-Qur`an.
Pada tahun 707 H, Ibnu Katsir pindah ke Damaskus. Ia belajar kepada dua Grand Syeh Damaskus, yaitu Syeikh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman al-Fazzari (w. 729) -terkenal dengan Ibnu al-Farkah- tentang fiqh Syafi’i. lalu belajar ilmu ushul fiqh ibn Hâjib kepada syeh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah. Lalu ia berguru kepada; Isa bin Muth’im, Syeikh Ahmad bin Abi Thalib al-Muammari (w. 730), Ibnu Asakir (w. 723), Ibnu Syairazi, Syeikh Syamsuddin al-Dzhabi (w. 748), Syeikh Abu Musa al-Qurafi, Abu al-Fatah al-Dabusi, Syeikh Ishaq bin al-Amadi (w. 725), Syeikh Muhammad bin Zurad. Ia juga sempat ber-mulajamah kepada Syeikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi (w. 742), sampai ia mendapatkan pendamping hidupnya. Ia menikah dengan salah seorang putri Syeikh al-Mazi. Syeikh al-Mazi, adalah yang mengarang kitab “Tahdzîbu al-kamâl” dan “Athrâf-u al-kutub-i al-sittah“.
Semasa hayatnya, beliau banyak menulis beberapa karya yang berharga. Diantara karya beliau yang terkemuka[5] adalah:
§  Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, kitab ini lebih populer dengan nama Tafsir Ibnu Katsir. Kitab ini mempunyai metode yang unik yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir ini tergolong tafsir bil ma’tsur. Selain itu kitab ini juga dijadikan bahan rujukan oleh banyak ulama baik sebelum maupun sesudah beliau wafat.
§  Al-Bidayah wan Nihayah, kitab ini bereorentasi dalam bidang sejarah. Kitab ini sangat penting untuk diketahui oleh sejarawan Islam karena dalam kitab ini sejarah disusun berdasarkan dua tahap. Tahap pertama membahas tentang sejarah kuno mulai dari penciptaan sampai masa kenabian Muhammad SAW. Tahap yang kedua sejarah Islam dari periode Nabi Muhammad SAW. Sampai pertengahan abad ke-8 H.
§  Kitab Jami’ al-Musanid wa al-Sunan, kitab ini terdiri dari delapan jilid yang berisikan nama-nama sahabat dan perawi hadis yang terdapat didalam Musnad Ahmad bin Hambal.
§  Al-Mukhtasar, kitab ini adalah ringkasan dari Muqadimah li Ulum al-Hadis karya Ibnu Shalah (W.642 H)
§  Qasas al-Anbiya’ yaitu kitab yang membahas tentang cerita para Nabi
§  Al-Wadihun Nafis fi Manaqibil Imam Muhammad Ibn Idris, kitab ini menjelaskan tentang biografi Imam Syafi’i,
§  At-Takmilah fi Ma’rifat al-Siqat wa al-Du’afa’ wa al-Mujahal, merupakan kitab penyempurna untuk mengetahui para periwayat hadis yang tsiqah, da’if, dan perawi yang majhul (kurang dikenal). Kitab ini disusun menjadi lima jilid. karya ini adalah karya gabungan dua karya Imam Dzahabi yaitu Tahdzîbu al-kamâl fî asmâ`i al rijâl dan Mîzân al i’tidâl fî naqdi al-rijâl dengan tambahan dalam jarh wa ta’dil. Dan masih ada lagi kitab karya beliau yang belum kami cantumkan.
  1. Metode penafsiran Ibnu Katsir
Dalam kitab tafsir ibnu katsir ini sistematikanya seperti karya-karya tafsir lainnya yaitu pertama kali yang dilakukan adalah menyebutkan surat dan penamaannya kemudian dijelaskan fadilah atau keutamaan dari surat itu dan seterusnya pada surat-surat yang lain, terkadang beliau menyebutkan asbabu nuzulnya kemudian setelah itu beliau memulai menafsirkan ayat per ayat dengan metode[6] berikut:
a.       Menafsirkan al qur’an dengan al qur’an
Maksudnya dalam hal ini ibnu katsir menafsirkan ayat al qur’an dengan ayat yang lain yang mempunyai munasabah atau konsekuensi logis dari ayat ke ayat lain, atau ayat yang mempunyai penjelasan terhadap ke globalan ayat yang akan ditafsirkan, seperti pada ayat:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِين

ومعنى الكلام: أن هذا الكتاب -وهو القرآن-لا شك فيه أنه نزل (6) من عند الله، كما قال تعالى في السجدة: { الم * تَنزيلُ الْكِتَابِ لا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ } [السجدة: 1، 2]. [وقال بعضهم: هذا خبر ومعناه النهي، أي: لا ترتابوا فيه] (7) . ومن القراء من يقف على قوله: { لا رَيْبَ } ويبتدئ بقوله: { فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ } والوقف على قوله تعالى: { لا رَيْبَ فِيهِ } أولى للآية التي ذكرنا، ولأنه يصير قوله: { هُدًى } صفة للقرآن، وذلك أبلغ من كون: { فِيهِ هُدًى } .و{ هُدًى } يحتمل من حيث العربية أن يكون مرفوعًا على النعت، ومنصوبًا على الحال. وخصّت الهداية للمتَّقين. كما قال: { قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ } [فصلت: 44]. { وَنُنزلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا } [الإسراء: 82] إلى غير ذلك من الآيات الدالة على اختصاص المؤمنين بالنفع بالقرآن؛ لأنه هو في نفسه هدى، ولكن لا يناله إلا الأبرار، كما قال: { يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ } [يونس: 57]

b.      Menafsirkan al qur’an dengan sunnah
Setelah mencari munasabah dan konsekuensi dari ayat lain tidak dapat dimukan, maka ibnu katsir menafsirkan ayat al qur’an dengan as sunnah, karena sebagaimana salah satu fungsi as sunnah adalah menjelaskan dan menerangkan terhadap al qur’an yang masih global maknanya, bahkan imam syafi’i pernah berkata “setiap hukum yang ditetapkan oleh rasulullah itu diambil dari pemahaman beliau terhadap al qur’an”. Oleh karena itu, ibnu katsir menjadikan as sunnah sebagai metode kedua untuk menafsirkan ayat-ayat al qur’an yang tidak ditemukan munasabah atau konsekuensi logisnya pada ayat-ayat yang lain. Penggunaan metode ini tampak pada ayat berikut:
خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
وذكر حديث تقليب القلوب: "ويا مقلب القلوب ثبت قلوبنا على دينك"، وذكر حديث حذيفة الذي في الصحيح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "تعرض الفتن على القلوب كالحصير عودًا عودا فأي قلب أشربها نكت فيه نكتة سوداء وأي قلب أنكرها نكت فيه نكتة بيضاء، حتى تصير على قلبين: على أبيض مثل الصفاء فلا تضره فتنة ما دامت السموات والأرض، والآخر أسود مرباد كالكوز مجخيًا لا يعرف معروفًا ولا ينكر منكرًا" الحديث.
قال (1) والحق عندي في ذلك ما صَحّ بنظيره (2) الخبرُ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهو ما حدثنا به محمد بن بشار، حدثنا صفوان بن عيسى، حدثنا ابن عَجْلان، عن القعقاع، عن أبي صالح، عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:(إن المؤمن إذا أذنب ذنبًا كانت نُكْتة سوداء في قلبه فإن تاب ونزعَ واستعتب صقل قلبه، وإن زاد زادت حتى تعلو قلبه، فذلك الران الذي قال الله تعالى: { كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ } [المطففين: 14] (3). وهذا الحديث من هذا الوجه قد رواه الترمذي والنسائي، عن قتيبة، عن الليث بن سعد، وابن ماجه عن هشام بن عمار عن حاتم بن إسماعيل والوليد بن مسلم، ثلاثتهم عن محمد بن عجلان، به (4) . وقال الترمذي: حسن صحيح.
ثم قال ابن جرير: فأخبر رسول الله صلى الله عليه وسلم أن الذنوب إذا تتابعت على القلوب أغلقتها، وإذا أغلقتها أتاها حينئذ الختم من قبل الله تعالى والطبع، فلا يكون للإيمان إليها مسلك، ولا للكفر عنها (5) مخلص، فذلك (6) هو الختم والطبع الذي ذكر (7) في قوله تعالى: { خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ } نظير الطبع والختم على ما تدركه الأبصار من الأوعية والظروف، التي لا يوصل إلى ما فيها إلا بفض (8) ذلك عنها ثم حلها، فكذلك (9) لا يصل الإيمان إلى قلوب من وصف الله أنه ختم على قلوبهم وعلى سمعهم إلا بعد فض خاتمه وحَلّه رباطه [عنها] (10) .

c.       Menafsirkan al qur’an dengan atsar
Setelah melakukan metode penafsiran dengan ayat-ayat yang mempunyai munasabah dan semacamnya dan dengan hadis atau sunnah, dan tidak dapat ditemukan pemahaman yang jelas, maka ibnu katsir menggunakan “Atsar” atau perkataan sahabat, karena ibnu katsir menganggap bahwa sahabat adalah yang lebih mengetahui maksud dari ayat yang ingin beliau tafsiri dan sahabat juga merupakan saksi primer yang mengetahui indikasi dan keadaan saat turunnya ayat dan setting historis setelahnya, selain itu sahabat juga mempunyai pemahaman yang sempurna, pengetahuan yang benar, dan pengamalan yang baik, terutama para tokoh-tokohnya seperti Al Khulafau Al Rasyidin dan lainnya.
Oleh karena itu, ibnu katsir menggunakan metode ini terlebih dahulu sebelum melangkah kepada metode selanjutnya. Contoh penafsirannya seperti pada ayat berikut:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
وقد روى ابن جرير وابن أبي حاتم من طريق عبد المؤمن، عن نَجْدَة الحَنَفِي قال: سألت ابن عباس عن قوله: { وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا } أخاص أم عام؟  فقال: بل عام. وهذا يحتمل أن يكون موافقة من ابن عباس لما ذهب إليه هؤلاء، ويحتمل غير ذلك، فالله أعلم. وتمسكوا بما ثبت في الصحيحين، عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "لَعَن الله السارق، يسرق البيضة فتقطع يده، ويسرق الحبل فتقطع يده". (1) وأما الجمهور فاعتبروا النصاب في السرقة، وإن كان قد وقع بينهم الخلاف في قدره، فذهب كل من الأئمة الأربعة إلى قول على حِدَةٍ، فعند الإمام مالك بن أنس، رحمه الله: النصاب ثلاثة دراهم مضروبة خالصة، فمتى سرقها أو ما يبلغ ثمنها فما فوقها وجب القطع، واحتج في ذلك بما رواه عن نافع، عن ابن عمر؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قطع في مِجَن ثمنه ثلاثة دراهم. أخرجاه في الصحيحين. (2)

d.      Menafsirkan al qur’an dengan perkataan tabi’in
Singkatnya adalah ibnu katsir ketika tidak menemukan penjelasan tentang sesuatu dalam al qur’an, sunnah, perkataan sahabat, maka perkataan tabi’in ia jadikan sebagai referensi berikutnya sebelum ia menggunakan ijtihadnya sendiri. Bahkan dalam hal ini terkadang menanyakan langsung kepada tabi’in seperti utsman al tsaury, mujahid bin jubair dan yang lain. dan ibnu katsir dalam tafsirnya sering mengutip perkataan beliau. Aplikasi metode ini sebagaimana terlampir dalam tafsirnya pada ayat di bawah ini:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

وقال سفيان الثوري، عن عاصم، عن زِرّ، قال: الْغَيْب القرآن. وقال عطاء بن أبي رباح: من آمن بالله فقد آمن بالغيب. وقال إسماعيل بن أبي خالد: { يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ } قال: بغيب الإسلام. وقال زيد بن أسلم: { الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ } قال: بالقدر. فكل هذه متقاربة في معنى واحد؛ لأن جميع هذه المذكورات من الغيب الذي يجب الإيمان به.

e.       Menafsirkan al qur’an dengan mengacu pada Ma’any Al Qur’an
Dalam artian bahwa penafsiran ini tidak hanya berdasarkan makna ayat per ayat saja tetapi juga meliputi berbagai macam aspek dalam bahasa arab karena al qur’an diturunkan dengan bahasa arab, seperti juga syi’ir-syi’ir, balaghahnya dan hal-hal lain terkait yang dapat membantu beliau, ibnu katsir dalam menafsirkan sebuah ayat yang tidak ditemukan penjelasannya pada ayat yang lain, sunnah, atau penjelasan dari sahabat.
Oleh karena hal tersebut, maka metode inilah sebagai alternatifnya. Sebagimana pada ayat di yang ditafsirkan dibawah ini:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

وقد اختلف السلف والخلف والأئمة في المراد بالأقْرَاء ما هو ؟ على قولين: أحدهما: أن المراد بها: الأطهار، وقال مالك في الموطأ عن ابن شهاب، عن عروة، عن عائشة أنها قالت: انتقلت حفصة بنتُ عبد الرحمن بن أبي بكر، حين دخلت في الدم من الحيضة الثالثة، قال الزهري: فذكرتُ ذلك لعمرة بنت عبد الرحمن، فقالت: صدق عروة. وقد جادلها في ذلك ناس فقالوا: إن الله تعالى يقول في كتابه: " ثلاثة قروء " فقالت عائشة: صدقتم، وتدرون ما الأقراءُ؟ إنما الأقراء: الأطهارُ. وقال مالك: عن ابن شهاب، سمعت أبا بكر بن عبد الرحمن يقول: ما أدركت أحدًا من فقهائنا إلا وهو يقول ذلك، يريد قول عائشة. وقال مالك: عن نافع، عن عبد الله بن عمر، أنه كان يقول: إذا طلق الرجل امرأته فدخلت في الدم من الحيضة الثالثة فقد بَرئت منه وبرئ منها. وقال مالك: وهو الأمر عندنا. ورُوي مثله عن ابن عباس وزيد بن ثابت، وسالم، والقاسم، وعروة، وسليمان بن يسار، وأبي بكر بن عبد الرحمن، وأبان بن عثمان، وعطاء ابن أبي رباح، وقتادة، والزهري، وبقية الفقهاء السبعة، وهو مذهب مالك، والشافعي [وغير واحد، وداود وأبي ثور، وهو رواية عن أحمد، واستدلوا عليه بقوله تعالى: { فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ } [الطلاق: 1] أي: في الأطهار. ولما كان الطهر الذي يطلق فيه محتسبًا، دل على أنه أحد الأقراء الثلاثة المأمور بها؛ ولهذا قال هؤلاء: إن المعتدة تنقضي عدتها وتبين من زوجها بالطعن في الحيضة الثالثة، وأقل مدة تصدق فيها المرأة في انقضاء عدتها اثنان وثلاثون يومًا ولحظتان].
واستشهد أبو عُبَيْد وغيره على ذلك بقول الشاعر -وهو الأعشى -:
ففي كل عام أنت جَاشِمُ غَزْوة ... تَشُدّ لأقصاها عَزِيمَ عَزَائِكا ...
مُوَرَّثة عدَّا، وفي الحيّ رفعة ... لما ضاع فيها من قُروء نسائكا ...
وقال ابن جرير: أصلُ القرء في كلام العرب: "الوقت لمجيء الشيء المعتاد مجيئه في وقت معلوم، ولإدبار الشيء المعتاد إدباره لوقت معلوم". وهذه العبارة تقتضي أن يكون مشتركًا بين هذا وهذا، وقد ذهب إليه بعض [العلماء] الأصوليين فالله أعلم. وهذا قول الأصمعي: أن القرء هو الوقت. وقال أبو عمرو بن العلاء: العرب تسمي الحيض: قُرْءًا، وتسمي الطهر: قرءا، وتسمي الحيض مع الطهر جميعًا: قرءا. وقال الشيخ أبو عمر بن عبد البر: لا يختلف أهل العلم بلسان العرب والفقهاء أن القرء يراد به الحيض ويراد به الطهر.

  1. Komparasi metodologi tafsir Ibnu katsir dengan Ibnu taimiyah
Upaya mengkomparasikan karekteristik Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Ibnu Taimiyah akan selalu bersinggungan dengan setting historis kedua penyusunnya, yaitu ‘Imad al-Din Ismail ibn ‘Umar ibn Katsir al-Quraisy al-Dimasyqi dan Taqqiyuddin Abul ‘Abbas Ahmad ibn ‘Abdul Halim ibn Muhammad ibn Taimiyah al-Harrani. Hubungan keduanya sebagai murid dan guru berpotensi besar akan mempengaruhi produk tafsir keduanya.
Maka membandingkan kedua produk tafsir tersebut cenderung pada pembahasan tentang corak, bentuk, metode,[7] karakteristik, ataupun spesifikasi penyusunan dan unsur-unsur internal lainnya. Berikut adalah model penafsiran kedua mufassir masyhur tersebut.

1.      Corak, Metode, dan Spesifikasi Penyusunan Tafsir Ibn Katsir
Tafsir Ibn Katsir, atau lebih dikenal juga dengan sebutan Tafsir al-Qur’an al-Azhim merupakan salah satu kitab tafsir yang menjadi rujukan banyak umat Islam termasuk di Indonesia. Beberapa catatan menyangkut karakteristik kitab Tafsir Ibn Katsir ini adalah sebagai berikut:
Ø  Ibn Katsir menyusun kitab tafsirnya ini dengan sistematika tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf al-Qur’an, atau lebih dikenal dengan sebuta tartib mushafi. Dispesifikasikan menjadi empat jilid sebagai berikut: jilid I mencakup tafsir surat al-Fatihah hingga surat an-Nisa, jilid II berisi tafsir surat al-Maidah sampai surat al-Nahl, jilid III berisi tafsir surat al-Isra hingga surat Yasin, dan jilid IV berisi tafsir surat al-Saffat hingga surat an-Nas.[8]
Ø  Termasuk dalam jenis tafsir bi al-ma’tsur. Beliau menggunakan metode menafsirkan al-Qur’an dengan menyebutkan ayat, lalu ditafsirkan dengan ungkapan yang mudah, ringkas dan menyatukan ayat-ayat yang relevan untuk dikomparasikan.[9] Berkarakter dan berorientasi (al-lau wa al-ittijah) tafsir bi al-ma’tsur/tafsir bi al-riwayah, karena di dalamnya banyak menggunakan riwayat hadis, pendapat sahabat ataupun tabi’in. Ibnu Katsir menafsirkan al-Qur’an berdasarkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang disanadkan kepada perawinya, yaitu para sahabat dan tabi’in.
Ø  Menggunakan pendekatan normatif-historis dengan landasan riwayat. Walaupun kadangkala beliau juga mengguanakan rasio atau penalaran.
Ø  Menggunakan metode penafsiran manhaj tahlili (metode analitis), karena menafsirkan ayat dengan analisa berdasarkan urutan mushaf al-Qur’an. Namun di sisi lain dapat pula dimasukkan dalam kategori metode semi tematik (maudu’i), karena beliau mengelompokkan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembahasan ke dalam satu tempat baik satu atau beberapa ayat, kemudian ia menampilkan ayat-ayat lainnya yang terkait untuk menjelaskan ayat yang sedang diinterpretasikan.[10]
Ø  Corak yang digunakan Ibnu Katsir dalam tafsir al-Qur’an al-‘Adzim adalah bercorak umum.[11]
Ø  Daya kritisnya yang tinggi terhadap cerita-cerita Israiliyat yang banyak tersebar dalam kitab-kitab tafsir bil-ma’tsur, baik secara global maupun mendetail.
Ø  Menyebutkan kisah-kisah yang berhubungan dengan penafsiran ayat yang sedang ditafsirkan tentu saja kisah-kisah yang disampaikan itu disebutkan jalur periwayatannya.
Ø  Ibnu Katsir mempunyai metode tersendiri. Menurutnya jika ada yang bertanya: “Apakah metode tafsir yang paling bagus?” maka jawabnya: “Metode yang paling shahih dalam hal ini adalah menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an. Dan perkara-perkara yang global di satu ayat dapat ditemukan rinciannya dalam ayat lain. jika tidak mendapatkannya maka hendaklah mencarinya dalam Sunnah kerena Sunnah adalah penjelas bagi al-Qur’an.           Allah   Ta’ala berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.”
Ø  Rasyid Ridha berkomentar, “Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap riwayat-riwayat dari para mufassir salaf, menjelaskan makna-makna ayat dan hukumnya, menjauhi pembahasan masalah I’rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufassir, menghindar dari pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami al-Qur’an secara umum atau hukum dan nasehat-nasehatnya secara khusus.”
Ø  Ibn Katsir juga menyinggung masalah jarh wa ta’dil yang dibutuhkan, mentarjihkan pendapat atas pendapat yang lain, menetapkan “lemah” pada sebagian riwayat dan menyatakan “shahih” pada riwayat yang lain.[12]
Ø  Selain itu dikatakan juga bahwa Ibn Katsi dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-Azhim ini begitu teliti dalam mengetengahkan isnad, serta memilih kalimat-kalimat yang sederhana namun sangat jelas.[13]
Ø  Adapun langkah-langkah (stratifikasi) penafsiran yang digunakannya secara garis besar adalah sebagai berikut:[14]
v  Ibn Katsir menyebutkan ayat yang akan diinterpretasikan, kemudian menafsirkannya dengan bahasa yang lugas dan ringkas. Jika dibutuhkan dan memungkinkan beliau mengkomparasikan ayat tersebut dengan ayat lain, sehingga makna yang dimaksud menjadi jelas.
v  Mengemukakan berbagai hadis atau riwayat yang marfu’ yang bersinggungan dengan ayat yang sedang ditafsirinya. Di samping itu beliau juga menghubungkannya dengan argumentasi para sahabat, tabi’in, dan para ulama salaf.
v  Mengemukakan pendapat para mufassir sebelumnya. Dalam hal ini, ia terkadang menentukan pendapat yang paling kuat di antara pendapat para ulama tersebut, atau menawarkan pendapatnya sendiri, dan terkadang pula ia sendiri tidak berpendapat.
Dalam bahasa lain, tahap-tahap tersebut adalah sebagaimana berikut ini:
v  Menafsirkan dengan al-Qur’an (ayat-ayat lainnya)
v  Menafsirkan dengan hadis
v  Menafsirkan dengan pendapat sahabat dan tabi’in
v  Menafsirkan dengan pendapat para ulama
v  Menafsirkan dengan pendapatnya sendiri

2.      Corak, Metode, dan Spesifikasi Penyusunan Tafsir Ibnu Taimiyah
Tafsir Ibn Taimiyah secara keseluruhan dihimpun oleh ‘Abdurrahman Muhammad Ibn Qasim al-‘Ashimi an-Najdi al-Hanbali dalam empat jilid. Terhimpun dalam Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah sengaja tidak menafsirkan seluruh isi al-Qur’an, karena menurut beliau sebagian ayat al-Qur’an sudah jelas dan sebagiannya telah ditafsirkan oleh ulama. Ia membatasi tafsirnya hanya pada ayat-ayat yang membutuhkan penafsiran lebih lanjut.[15]

Secara garis besar, metodologi Ibn Taimiyah dalam setiap karyanya adalah terdiri dari empat unsur berikut:[16]
*      Ibnu Taimiyah tidaklah menggunakan nalar sebagai sumber yang mutlak dalam menentukan hukum.
*      Ibnu Taimiyah tidaklah berpihak hanya pada satu pendapat saja, bagi Ibnu Taimiyah tidak seorangpun memiliki kedudukan kecuali baginya bersumber dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Atsar para ulama salaf yang mengikuti Nabi saw. tentang madzhab empat, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika pendapat-pendapat ulama Salaf sesuai dengan al-Qur'an, Sunah dan Atsar, mereka perlu kita ikuti, dan begitu juga sebaliknya.
*      Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa Syari’ah itu bersumber dari al-Qur’an, Nabi Muhammadlah yang menjelaskan dan memperaktekkannya kepada umat terlebih kepada para shahabat pada masa Nabi saw.
*      Ibnu Taimiyah tidaklah orang yang fanatik terhadap pemikirannya saja, Ibnu Taimiyah selalu melepas dirinya dari segala apa yang mengikatnya, kecuali yang sesuai dengan al-Qur'an, Sunnah dan Atsar Salaf.

Adapun metode dan prinsip penafsiran dalam tafsir Ibn Taimiyah adalah seperti poin-poin berikut:
Ø  Tafsir ini termasuk dalam metode penafsiran tahlili dan pendekatan riwayat (tafsir bi al-ma’tsur/ tafsir bi al-naql), karena ia menyoroti ayat-ayat al-Qur’an denganmemaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya, sesuai urutan bacaan yang terdapat didalam al-Qur’an Mushaf ‘Utsmani. Dilihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasinya menggunakan metode al-tafsir bi al-ma’tsur.[17] Akan tetapi ada juga yang menggolongkannya sebagai tafsir maudu’i (tematik) berdasar poin nomor empat berikut.
Ø  Corak penafsirannya bersifat kombinatif karena tidak ada unsur yang dominan. Prosedur ma’tsur dikuatkan dengan karakter pokok Ibnu Taimiyah yang menghindari penafsiran akal semata, mengkritik penafsiran dengan akal seperti Zamahsyari. Hal itu dengan cara menggunakan jalur transmisi riwayat yang berlapis, menggunakan penjelasan qira’at, menggembalikan ukuran kebahasaan pada syair Arab klasik, serta kritis terhadap narasi Israiliyat maupun tafsir kalangan mutakallimin.[18]
Ø  Ibn Taimiyah mengawali tafsirnya dengan menjelaskan nama-nama al-Qur’an berdasarkan sebutan dalam al-Qur’an, antara lain, al-Furqan, al-Kitab, dan lain-lain.[19]
Ø  Termasuk dalam kelompok tafsir yang bercorak sastra budaya kemasyarakatan dengan ciri menjelaskan petunjuk ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat.
Ø  Ibn Taimiyah tidak terlalu fokus pada permasalahan i’rab, dan persoalan kebahasaan, kecuali untuk menegaskan maknanya atau untuk proses tarjih.
Ø  Pada taraf tertentu penafsiran Ibn Taimiyah menggunakan metode ta’wil (hermeneutika). Beliau juga memadukan naql dan ra’yu dengan harmonis.

Prosedur dan ciri pokok penafsiran Ibn Taimiyah tersebut adalah sebagai berikut:[20]
v  Memandang satu surat sebagai satu kesatuan yang serasi dan utuh.
v  Menekankan kandungan al-Qur’an sebagai sumber aqidah.
v  Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an.
v  Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan hadis-hadis Nabi dan perkataan para sahabat.
v  Sangat teliti dalam memahami redaksi ayat dan lafal-lafalnya.
v  Pembahasan ayat yang luas dengan beberapa ayat yang serupa.
v  Menggunakan akal secara kritis dalam menyimpulkan pesan al-Qur’an.


  1. Pandangan Ulama tentang Beliau
v              Sungguh suatu pengakuan yang jujur dan penghargaan yang tidak berlebihan kiranya ketika Imam as-Suyuthi (w.911), ulama berkebangsaan Mesir, Ia berkata, “al-Hafizh Ibnu Katsir adalah master dalam ilmu hadits, ia mengetahui hukum hadits, ‘illat hadits, serta mata rantai rawinya. Begitu juga dalam al-jarh wa al-ta’dîl. Ia telah membuahkan karya yang sangat monumental sekali, dan tidak ada ulama yang mengarang seumpama itu”. Sungguh suatu pengakuan yang jujur dan penghargaan yang tidak berlebihan kiranya ketika seorang mufasir besar, Imam Suyuthi (w.911) berkata mengenai tafsir Ibnu Katsir, “lam yu-laf ‘alâ namthihi mitsluhu“. Setelah diteliti oleh muhaqqiq dalam bidang tafsir dan hadits, tafsir Ibnu katsir sangat ilmiah dan kaya dengan referensi yang sulit di dapat. Bahkan sekarang ada beberapa jenis referensi yang sudah tidak ada dan sangat sulit dicari. Betapa karya ini kaya dengan ilmu yang menyimpan mutiara-mutiara berharga, karena Ibnu Katsir menjadikan referensi karyanya yang diambil dari berbagai disiplin ilmu, Baik itu tafsir, ilmu tafsir, hadits, ilmu-ilmu hadits, lughah, sejarah, fiqh, ushul fiqh, bahkan geografi.
v              Al-Badar mengatakan, “Beliau adalah seorang ulama yang menjadi teladan bagi para ulama, Hufadz, serta para ahli bahasa.Dengan tekun beliau belajar bermacam-macam ilmu, menulis, dan melakukan kajian.Beliau mempunyai perhatian yang sangat besar dalam ilmu hadits, tafsir, dan sejarah.
v              Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan, “Beliau sering mengundang banyak orang untuk mengkaji berbagai macam ilmu.Beliau juga seorang yang berjiwa humoris.Dalam karyanya telah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan dimanfaatkan oleh banyak orang.
v              Salah seorang muridnya dan sekaligus seorang sejarawan, Shahibuddin bin Hijji mengatakan, “Beliau adalah seorang yang mempunyai hafalan yang kuat dan yang palin bagus tentang masalah matan hadits dan yang paling mengetahui tentang keadaan para perawi tentang keshahihannya maupun kecacatannya (jarh) yang pernah kami kenal.Para sahabat dan guru-gurunya pun mengakui tentang hal itu.

KESIMPULAN
Dari berbagai pemaran yang telah dijelaskan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa pertama, profil beliau menunjukkan ketekunan beliau dalam mencari ilmu sejak kecil hingga beliau pulang kembali ilahi rabbi, bahkan dijelaskan pula bidang-bidang keahlian beliau seperti fiqih, hadis, nahwu dan lain-lain, keahlian tersebut beliau buktikan dengan karya-karya beliau yang tidak asing lagi di telinga para pengkaji dan peneliti, khususnya para pelajar. Tidak hanya itu tetapi keahlian tersebut juga membantu beliau menyelesaikan karya fenomenalnya yaitu “Tafsir Al Qur’anu Al ‘Adhim” yang dikenal dengan tafsir Ibnu katsir.
Kedua, jelas bahwa tafsir beliau ini termasuk ke dalam tafsir bil ma’tsur karena memenuhi kriteria yang telah ditetapkan para ulama dahulu yaitu sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beliau sendiri didalam muqaddimah kitab tafsirnya bahwa paling baiknya penafsiran ialah menfsirkan dengan al qur’an, sunnah, perkataan sahabat, tabi’in dan kemudian istisyhad dengan berbagai keilmuan untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Oleh karena itu, hal inilah yang dipegang teguh oleh beliau mengapa beliau tidak memilih cenderung kepada tafsir bil ma’qul. Selain itu beliau juga pernah berkata bahwa jika menafsirkan al qur’an hanya dengan menggunakan saja maka itu haram, tetapi jika akal sebagai alat bantu kita untuk memahaminya baik secara bahasa maupun secara syar’i maka hal tersebut tidak apa-apa.
Ketiga, sosok Ibnu katsir dikenal dekat dengan guru beliau Ibnu taimiyah bahkan konon beliau banyak terinpirasi dan dipengaruhi oleh gurunya tersebut. Oleh karena itu, untuk meninjak lanjuti hal tersebut maka penulis mencoba untuk membandingkan karya tafsir Ibnu katsir dengan karya tafsir Ibnu taimiyah. Dan dari hasil perbandingan tersebut memang terlihat ada pengaruh dalam penggunaan metode tetapi tidak pada sistematika penulisannya, hal tersebut tidak terlalu penting untuk dibahas tetapi yang penting adalah peran akal sangat mendominasi pada penafsiran ibnu taimiyah dari pada ibnu katsir. Dengan ini untuk sementara penulis menyimpulkan bahwa ibnu katsir mencoba untuk mengkompromikan tafsir bil ma’tsur dengan tafsir bil ma’qul.
 
   
DAFTAR PUSTAKA

  1. CD maktabah Syamilah
  2. Adz-Dzarqiy, Abdur Rahman. Bidayatun Nihayah. Beirut Libanon. 1999. Cet.V
  3. An-Nursiy, Syaikh Mohammad Sa’id. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Jakarta; Pustaka Al-Kautsar. 2007. Cet.I
  4. http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Katsir
  5. Fotocopy kitab “Al Mufassirun Hayatuhum Wa Manhajuhum hlm. 304
  6. Ibnu Katsir, Al hafidz “tafsiru al qur’anu al ‘adhim”. beirut: maktabah nur ilmiyah. Tanpa tahun.
  7. Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011
  8. Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 2003
  9. Yusuf, Muhammad dkk. Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks Yang Bisu. Yogyakarta: Teras. 2004
  10. Al-Qattan, Manna’ Khalil Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Litera Antar Nusa. 2011
  11. As-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2008
  12. Ar., Didi Suryadi. Ahmad Taqiyuddin bin Taimiyah; Telisik Metodologi dalam Pemikiran. kumpulan tulisan dalam buku "Internalisasi Manhaj Ulama" (buku Maha Karya Generasi Muda Banten di Mesir. cet pertama. April 2008. KMB Mesir)
  13. Masyhud. Jurnal Penelitian Agama. Pemikiran Ibn Taimiyah Tentang Metode Penafsiran Al-Qur’an Sebagai Upaya Pemurnian Pemahaman Terhadap Al-Qur’an. Purwokerto: STAIN Purwokerto. 2008



[1]Abdur Rahman adz-Dzarqiy, Bidayatun Nihayah, Beirut Libanon, 1999, Cet.V, hal.7.
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Katsir
[3]Syaikh mohammad Sa’id an-Nursiy, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2007, Cet.I, hal.348.
[4]Op.,cit, 348.
[5] Fotocopy kitab “Al Mufassirun Hayatuhum Wa Manhajuhum” hlm. 304
[6]Al hafidz ibnu katsir, “tafsiru al qur’anu al ‘adhim”, beirut: maktabah nur ilmiyah, hlm. 4-6  
[7] Bentuk penafsiran adalah pendekatan dalam proses penafsiran, metode penafsiran adalah sarana atau media yang harus diterapkan untuk mencapai tujuan penafsiran, dan corak penafsiran adalah tujuan instruksional dari suatu penafsiran. (Lihat Prof. Dr. Nashruddin Baidan dalam Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 388). Metode penafsiran sendiri terbagi menjadi dua, yaitu metode penafsiran bi al-ma’tsur dan metode penafsiran bi al-ra’yi. (Lihat Dr. Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003, hal. 118-119). Sementara corak penafsiran terbagi menjadi tiga, yaitu corak umum, corak khusus, dan corak kombinasi. (Lihat Prof. Dr. Nashruddin Baidan dalam Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hal. 386-427)
[8] Muhammad Yusuf, MA. dkk, Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks Yang Bisu, Yogyakarta: Teras, 2004, hal. 136
[9] Dr. Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003, 206
[10] Muhammad Yusuf, MA. dkk, Studi Kitab Tafsir, hal. 138
[11] Prof. Dr. Nashruddin Baidan dalam Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 389
[12] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Litera AntarNusa, 2011, hal. 505
[13] Dr. Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008, hal. 414
[14] Muhammad Yusuf, MA. dkk, Studi Kitab Tafsir, hal. 138-139
[15] Muhammad Yusuf, MA. dkk, Studi Kitab Tafsir, hal. 87
[16] Lihat Didi Suryadi Ar. dalam Ahmad Taqiyuddin bin Taimiyah; Telisik Metodologi dalam Pemikiran, kumpulan tulisan dalam buku "Internalisasi Manhaj Ulama" (buku Maha Karya Generasi Muda Banten di Mesir, cet pertama, April 2008. KMB Mesir)
[17] H. Masyhud, Jurnal Penelitian Agama berjudul Pemikiran Ibn Taimiyah Tentang Metode Penafsiran Al-Qur’an Sebagai Upaya Pemurnian Pemahaman Terhadap Al-Qur’an, Purwokerto: STAIN Purwokerto, 2008, hal. 7
[18] H. Masyhud, hal. 10
[19] Muhammad Yusuf, MA. dkk, Studi Kitab Tafsir, hal. 88
[20] Muhammad Yusuf, MA. dkk, Studi Kitab Tafsir, hal. 89-99

content top