content top

Rabu, 18 Januari 2012

Taukid/ta'kid

Oleh      : Siti Fauziah, Fairuz Kholili dan Ahmad Syafi'in Aslam ( PBSB 2010)
Editor   : Fairuz Kholili 
A.           Pengertian Arti dan Makna Ta’kid/Taukid
            Ta’kid secara etimologi berasal dari kata اكد-وكد yang artinya adalah  [1]الشيء قرره  yang artinya adalah menguatkan sesuatu. Sedangkan menurut istilah nahwu, ta’kid adalah
التا بع الرافع للاحتمال “ yang artinya adalah lafadz yang mengikuti yang menghilangkan pengertian ihtimal[2]. Jadi kegunaan dari ta’kid adalah menghilangkan pemaknaan secara umum kearah yang lebih khusus. Sehingga ketika kita mempunyai kemungkinan untuk memaknai suatu lafadz dengan pemaknaan yang berbeda akan tertuju pada pemaknaan yang ditetapkan oleh si pembuat kalimat. Dalam pengertian lain disebutkan[3]
  “ التوكيد او تاكيد هو تكرير يراد به تثبيت امر المكررفي نفس السامع
Artinya:“ Taukid atau ta’kid adalah pengulangan (suatu lafadz) yang bertujuan untuk menetapkan perkara atau urusan yang diulang pada
hati sami’ ( pendengaran )”.  Sama saja dalam pengertian disini bahwa ta’kid merupakan penetapan yang dilakukan untuk menetapkan perkara yang sudah disebutkan sebelumnya.
B.            Macam-Macam Ta’kid
            Menurut Imam Zarkasi dalam kitab Al-Burhan,  ta’kid terbagi  menjadi dua bagian, yaitu lafdzi dan maknawi.[4]
1.         Ta’kid Lafdzi
Adapun pengertian lafdi adalah penetapan makna awal dengan lafad itu sendiri atau dengan kalimat yang memiliki makna yang sama dengan makna yang dita’kidi, misalnya lafadz ta’kid yang menggunakan makna yang bersinonim dengan makna yang dita’kidi.

Contoh  dalam QS. Al-Anbiya’ : 31
 $uZù=yèy_ur Îû ÇÚöF{$# zÓźuru br& yŠÏJs? öNÎgÎ/ $uZù=yèy_ur $pkŽÏù %[`$yÚÏù Wxç7ß öNßg¯=yè©9 tbrßtGöku ÇÌÊÈ 
“Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk.”

Dan QS. Al-An’am : 125
`yJsù ϊ̍ムª!$# br& ¼çmtƒÏôgtƒ ÷yuŽô³o ¼çnuô|¹ ÉO»n=óM~Ï9 ( `tBur ÷ŠÌãƒ br& ¼ã&©#ÅÒムö@yèøgs ¼çnuô|¹ $¸)Íh|Ê %[`tym $yJ¯Rr'Ÿ2 ߨè¢Átƒ Îû Ïä!$yJ¡¡9$# 4 šÏ9ºxŸ2 ã@yèøgs ª!$# }§ô_Íh9$# n?tã šúïÏ%©!$# Ÿw šcqãZÏB÷sムÇÊËÎÈ  
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”

Dalam pembahasan ta’kid lafdzi, penggunaan kata yang menta’kidinya bermacam-macam yang akan dijelaskan sebagaimana berikut :
ü  Nakirah. Penggunaan lafadz yang nakirah ini ulama’ bersepakat (Ijtima’), bahwa nakirah bisa menjadi ta’kid.
Contoh dalam QS. Al-Insan : 15-16
ß$$sÜãƒur NÍköŽn=tã 7puÏR$t«Î/ `ÏiB 7pžÒÏù 5>#uqø.r&ur ôMtR%x. O#tƒÍ#uqs% ÇÊÎÈ   (#tƒÍ#uqs% `ÏB 7pžÒÏù $ydrâ£s% #\ƒÏø)s? ÇÊÏÈ   
“Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak dan piala-piala yang bening laksana kaca.  (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya.”

Dalam contoh lain  Ibnu Malik dan Ibn Usfur menjadikan lafadz (دكا دكا)[5] dan (صفا صفا)[6] tapi pendapat yang menyatakan bahwa kedua contoh diatas adalah ta’kid ditolak (Mardud), karena dalam tafsir ditemukan bahwa makna (دكا دكا) adalahبعد دك   دكا  hentakan setelah hentakan sehingga menjadi debu yang berterbangan.
Sedangkan kata (صفا صفا) bahwa arti dalam tafsir adalah malaikat itu turun disetiap langit di dunia dengan berbaris barisan demi barisan. Dalam permasalahan ini bukanlah yang dianggap menta’kidi (ta’kid) itu penetapan bagi yang pertama, melainkan yang diinginkan disini adalah menjadikan banyak.
ü  Huruf :  Ibnu Jinni memberikan contoh dalam firman Allah SWT di QS. Al-Waqi’ah 1-4
#sŒÎ) ÏMyès%ur èpyèÏ%#uqø9$# ÇÊÈ   }§øŠs9 $pkÉJyèø%uqÏ9 îpt/ÏŒ%x. ÇËÈ   ×pŸÒÏù%s{ îpyèÏù#§ ÇÌÈ   #sŒÎ) ÏM§_â ÞÚöF{$# %w`u ÇÍÈ  
“Apabila terjadi hari kiamat. Tidak seorangpun dapat berdusta tentang kejadiannya.  (Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain). Apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya.”

Sesungguhnya( رجت ) merupakan pengganti/badal ( وقعت ) dan lafadz (اذا)   diulangi sebagai ta’kid karena menguatkan bentuk jumlah setelah (اذا) yang ada hubungannya dengan (اذا) yang pertama.  

ü  Isim fi’il. Taukid itu juga ada yang berbentuk isim fi’il sebagaimana yang terdapat dalam al-Quran di QS. Al-Mukminun : 36
* |N$pköŽyd |N$pköŽyd $yJÏ9 tbrßtãqè? ÇÌÏÈ  
“ Jauh, jauh sekali (dari kebenaran) apa yang diancamkan kepada kamu itu.”

ü  Jumlah taukid dalam jumlah.
Contohnya :
¨bÎ*sù yìtB ÎŽô£ãèø9$# #·Žô£ç ÇÎÈ   ¨bÎ) yìtB ÎŽô£ãèø9$# #ZŽô£ç ÇÏÈ  
“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Jumlah yang kedua diatas merupakan ta’kid. Kebanyakan ta’kid yang seperti ini memisahkan kedua jumlah tersebut dengan lafadz  ( ثم ) seperti dalam firman Allah SWT di QS. At-Takatsur : 3,4 dan QS. Al-Infithar : 17,18
žxx. šôqy tbqßJn=÷ès? ÇÌÈ   §NèO žxx. t$ôqy tbqßJn=÷ès? ÇÍÈ  
“Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.”
!$tBur y71u÷Šr& $tB ãPöqtƒ ÈûïÏd9$# ÇÊÐÈ   §NèO !$tB y71u÷Šr& $tB ãPöqtƒ ÉúïÏe$!$# ÇÊÑÈ  
“Tahukah kamu Apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu Apakah hari pembalasan itu?”

ü Jer-Majrur:  seperti dalam firman Allah SWT di QS. Hud : 108
* $¨Br&ur tûïÏ%©!$# (#rßÏèß Å"sù Ïp¨Ypgø:$# tûïÏ$Î#»yz $pkŽÏù $tB ÏMtB#yŠ ßNºuq»yJ¡¡9$# ÞÚöF{$#ur žwÎ) $tB uä!$x© y7/u ( ¹ä!$sÜtã uŽöxî 7ŒräøgxC ÇÊÉÑÈ  
“Adapun orang-orang yang berbahagia, Maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”

Kebanyakan ta’kid pada jer majrur ini disambungkan.

2.         Ta’kid Ma’nawi
Adapun taukid maknawi itu dibagi menjadi dua, yaitu:
ü  Maknawi Hakiki, ialah:
الذي يدل على اثبا ت الحقيقة ورفع المجاز (kalimat yang menunjukkan pengertian hakekat dan menghilangkan majaz)
Contoh : جاء زيد نفسه
ü  Maknawi lil-ihatoh, ialah:
الذي يدل على الاحاطة والشمول ( kalimat yang menunjukkan keseluruhan, bukan sebagian )

Contoh : QS. Shad : 73
yyf|¡sù èps3Í´¯»n=yJø9$# öNßg=à2 tbqãèuHødr& ÇÐÌÈ  
“ Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya.”

C.  Media dan Bentuk-Bentuk Ta’kid

A.    Ta’kid dalam lingkup jumlah ismiyyah
1.         Ta’kid dengan menggunakan huruf إِنّ seperti firman Allah Swt. QS. Faathir: 5
(يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ)
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar,...”
Contoh lain seperti, QS. Al-Hajj: 1
(يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ)
 “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).”
Ta’kid dengan memakai huruf إِنّ lebih kuat makna penguatannya dari pada ta’kid dengan memakai huruf lam[7]. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Abdul Qohir dalam kitabnya “Dalail al-I’jaz” beliau berkata:  kebanyakan lafadz inna itu kedudukannya  sebagai  huruf jawab yang digunakan sebagai jawaban atas pertanyaan atau permintaan.[8]
2.         Ta’kid dengan huruf أنّ (hamzahnya berbaris fathah). Seperti: علمت أنّ زيدا قائم  artinya: “Saya tahu bahwa Zaid benar-benar berdiri.”
Misalnya QS. Al-Baqarah : 209
bÎ*sù OçFù=s9y .`ÏiB Ï÷èt/ $tB ãNà6ø?uä!%y` àM»oYÉit6ø9$# (#þqßJn=÷æ$$sù ¨br& ©!$# îƒÍtã íOŠÅ6ym ÇËÉÒÈ  
“Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, Maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Huruf أنّ ini termasuk huruf ta’kid, yaitu sama seperti huruf إِنّ
3.       كانّ merupakan huruf tasybih yang digunakan untuk menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, akan tetapi mempunyai makna sebagai penguat dari musyabah. Contoh: كَأَنَّ الْعِلْمَ نُوْرٌ
Dalam QS. An-Naml: 42 disebutkan:

 فَلَمَّا جَاءتْ قِيلَ أَهَكَذَا عَرْشُكِ قَالَتْ كَأَنَّهُ هُوَ وَأُوتِينَا الْعِلْمَ مِن قَبْلِهَا وَكُنَّا مُسْلِمِينَ
Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya: "Serupa inikah singgasanamu?" Dia menjawab: "Seakan-akan singgasana ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri".

4.      Huruf لكنّ berfungsi untuk menta’kidkan jumlah (kalimat) ismiyah. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Ushfur dan at-Taukhi dalam kitab “al-Aqsa”: huruf ini berfaedah ta’kid maal istidrak, atau hanya sebagai istidrak saja, yaitu penetapan hukum setelah huruf ini berbeda dengan hukum yang disebutkan sebelum huruf tersebut.[9] Contoh QS. Albaqarah :253.
 وَلَوْ شَاء اللّهُ مَا اقْتَتَلُواْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.

5.     لام الابتداء adalah huruf taukid yang digunakan untuk menunjukkan ta’kid (penguat). Contoh: QS. Ibrahim: 39
 الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاء
Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do'a.
6.     الفصل merupakan bagian dari ta’kid jumlah. Dalam hal ini Imam Sibawaih berpendapat bahwa al-fasl sesungguhnya bermakna penguat.

Seperti Firman Allah SWT. QS. Al-Kahfi: 39
  إِن تُرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالاً وَوَلَداً
Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan,”
Huruf أَنَا adalah sifat untuk huruf  ياء(ya’) yang ada dalam lafadz تُرَنِ, penambahan lafadz ana disini adalah sebagai ta’kid. Pendapat ini benar, sebab mudhmar berfungsi untuk menguatkan dhamir.
Contoh lain dalam al-Qur’an bisa dilihat pada:
a.       QS. Al-Baqarah: 5
b.      QS. Al-Muzammil: 20
c.       QS. Ali Imran: 180
d.      QS. Saba: 6
e.       QS. Al-Anfal: 32
f.       QS. Ali Imran:159

7.      Dhomir bayan untuk mudzakar dan dhomir qishah untuk muanas; keduanya diletakan sebelum jumlah, untuk menunjukkan keagungan. Dan ada juga yang berpendapat bahwa nama dua dhomir tersebut adalah sya’n dan qishah.
Contoh QS. Taha: 14
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
 Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
Dan  QS. Al-Ikhlas: 1
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
 Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.

Maksud lafadz ahad disini adalah menunjukkan sifat tunggal dalam ke-Esaan. Sekelompok ulama ahli nahwu menerangkan bahwa هو disini adalah dhomir sya’n, kemudian lafadz Allah sebagai mubtada ke 2, dan ahad sebagai khobar dari mubtada ke 2 (lafadz Allah).

Contoh dhomir Qishah, QS. Al-Hajj: 46
 أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
Huruf ها (ha) dalam lafadzفَإِنَّهَا adalah dhomir qishah.

8.      Ta’kid dhomir munfasil harus menguatkan dhamir yang muttasil ketika diathafkan. Contoh dalam QS. Al-Baqarah: 35
وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنتَ وَزَوْجُكَ
“Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamlah kamu dan isterimu...”
Dalam QS. Al-Maidah: 24
فَاذْهَبْ أَنتَ وَرَبُّكَ
“Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu...”
Ada juga yang mengatakan tidak harus menguatkan, tetapi harus ada pemisah antara keduanya. Sebagaimana QS. Al-An’am:148
مَا أَشْرَكْنَا وَلاَ آبَاؤُنَا
niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya
Lafadz آبَاؤُنَا  ini diathafkan terhadap isim dhomir yang dibaca rofa, dan disini fungsinya tidak sebagai ta’kid tapi sebagai pemisah yaitu huruf         لاَ(la).
9.      Mendahulukan jumlah dari dhomir yang berfungsi sebagai mubtada. Contoh QS. Al-Baqarah: 4.
وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Tujuannya meringkas, yakni tidak ada yang mengimani akhirat kecuali  orang-orang yang beriman. Akan tetapi kemudian dibalik.

10.  Huruf هاء (ha) yang berfungsi menguatkan kalimat nida (panggilan). Contoh: يايها Menurut Imam Sibawaih bentuk seperti ini adalah sama halnya kita mengucapkan panggilan ياء dua kali. Dan pendapat ini didukung oleh Zamakhsyari
11.  Huruf ) ياءya( yang digunakan untuk jarak jauh. Menurut Zamakhsyari huruf ياء itu adalah untuk menguatkan pembicara terhadap apa yang diucapkan.
12.  Huruf واو (wau). Imam Zamakhsyari mengira wawu ini bisa masuk pada jumlah washfiyah untuk menguatkan adanya suatu sifat yang melekat pada mausuf, sebagaimana huruf واو  )wau( yang masuk dalam jumlah haliyyah. Contoh QS. Al-Hijr: 4.
 وَمَا أَهْلَكْنَا مِن قَرْيَةٍ إِلاَّ وَلَهَا كِتَابٌ مَّعْلُومٌ
Dan Kami tiada membinasakan sesuatu negeripun, melainkan ada baginya ketentuan masa yang telah ditetapkan.
13.  Huruf اما  )imma[10]( yang hamzahnya dibaca kasroh. Seperti QS. Al-Baqarah: 38.
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى

 Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu,
14.  Huruf  اما(hamzahnya fathah) contoh QS. Al-Baqarah: 26.
فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُواْ فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ
Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka,
Menurut Imam Zamakhsyari huruf " اما amma" dalam ayat tersebut adalah sebagai ta’kid.
15.  Huruf  الا(ala) yang ada di awal kalimat. Seperti yang diterangkan oleh Imam Zamakhsyari, ala yang ada di awal kalimat itu berfaedah tahqiq yakni menyatakan jumlah yang ada setelahnya. Contoh QS. Al-Baqarah: 12.
أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَـكِن لاَّ يَشْعُرُونَ
Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.
16.  Huruf ما (ma) nafi. Contoh  ما زيد قائما او قائمdalam bahasa tamim menurut Imam Sibawaih contoh ini adalah ta’kid.
17.  Huruf باء (ba) yang ada dalam kalimat yang menjadi khabar.
Contoh  ما زيد بمنطلق Imam Zamakhsyari menerangkan dalam kitab al-Kasyaf tentang lafadz tersebut, bahwa menurut ulama Basrah lafadz itu berfaedah ta’kidun nafyi. Sedangkan menurut ulama Kuffah lafadz itu adalah jawaban untuk lafadz ان زيدا لمنطلق.
Demikianlah kiranya pembagian ta’kid dalam lingkup jumlah ismiyyah.

B.     Ta’kid dalam bentuk jumlah fi’liyyah
1.      Huruf  قد adalah huruf ta’kid yang bermakna menguatkan. Imam Zamakhsyari memberi contoh sebagaimana firman Allah SWT. Qs. Ali-Imran: 101
 وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَن يَعْتَصِم بِاللّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”
Maksud lafad tsb artinya hashala lahu al huda (dia dapat petunjuk).[11]
Imaam Jauhari menceritakan dari Imam Khalil, bahwasanya qad itu tidak disebutkan dalam sebuah kalimat atau perkataan, kecuali si pendengar benar-benar ingin memperhatikan. Seperti kamu berkata kepada orang yang menungggu kedatangan zaid, dengan berkata قد قدم زيد.
Sebagian ulama nahwu berpendapat dalam QS. Al-Isra: 89, dan QS. Al-Baqarah: 85, qad dalam jumlah fi’liyyah dikedua ayat tersebut sebagai jawab qasam. Seperti halnya huruf inna dan huruf lam dalam jumlah ismiyyah yang menjadi jawab qasam yang berfungsi ta’kid.
Huruf qad bisa masuk dalam fiil madi, Seperti: قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِيْ السَّمَاءِ (sungguh, kami telah melihat engkau salalu memandang ke arah langit).  Adapun contoh  dalam QS. Asyams ayat  9
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
“sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,”
Juga dalam fiil mudhori’ QS. Al-An’am: 33 dan An-Nur: 64. Imam Zamakhsyari berpendapat bahwa qad masuk dalam kalimat tersebut berfungsi sebagai memperkuat pengetahuan. Ibnu Iban berpendapat bahwa huruf qad itu berfaedah menguraikan kejadian atau hal yang terkait di masa mendatang. Contoh: “Zaid akan benar-benar melakukan hal demikian”. Qad disini tidak bermakna taktsir.
2.      Sin tanfis (السين  لتي للتنفيس) "menunjukkan ma’na istiqbal."
Contoh QS. Al-baqarah : 137
 فَإِنْ آمَنُواْ بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Imam Sibawaih berpendapat bahwa, sin itu bermakna tetap meskipun menunjukan waktu di masa mendatang . Imam Zamakhsyari berpendapat dalam QS. At-Taubah: 71
أُوْلَـئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
berfaedah adanya kasih sayang Allah. Tapi ada kontradiksi dalam pendapat ini. Yaitu bahwa indikasi kasih sayang itu, sebagai faedah dari fiil itu sendiri. Bukan karena huruf sin.



3.      Nun as-Syadidah
Dalam hal ini nun syadidah adalah setara dengan kita menyebutkan fiil sebanyak tiga kali. Dan dalam kenyataannya setara dengan kita menyebutkan dua kali kalimat perintah. Ada juga yang berpendapat,  bahwa nun ini bermakna untuk menguatkan pekerjaan. Dalam al- Qur’an contohnya hanya ada dua ayat yaitu, QS. Yusuf : 32 dan QS. Al-Alaq : 13.
 قَالَتْ فَذَلِكُنَّ الَّذِي لُمْتُنَّنِي فِيهِ وَلَقَدْ رَاوَدتُّهُ عَن نَّفْسِهِ فَاسَتَعْصَمَ وَلَئِن لَّمْ يَفْعَلْ مَا آمُرُهُ لَيُسْجَنَنَّ وَلَيَكُوناً مِّنَ الصَّاغِرِينَ
Wanita itu berkata: "Itulah dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak mentaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina." (QS. Yusuf : 32)
 كَلَّا لَئِن لَّمْ يَنتَهِ لَنَسْفَعاً بِالنَّاصِيَةِ
Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya ,
4.      لن (lan); berfungsi untuk menguatkan penafian sebagaimana inna menguatkan suatu penetapan.
Ketika kamu mengatakan: ”saya tidak suka”. Maka ketika benar-benar menekankan ungkapan tidak, hendaknya memakai kata lan. Imam Sibawaih berkata, ungkapan itu sebagai jawaban yang berkata sayaf’al yakni bahwa sin disana berfaedah ta’kid, Imam Zamakhsyari berpendapat bahwa huruf lan itu menunjukkan makna istighrakun nafyi dimasa mendatang. Berbeda dengan huruf la. Seperti contoh QS. Al-A’rof: 143.
 وَلَمَّا جَاء مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَن تَرَانِي وَلَـكِنِ انظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكّاً وَخَرَّ موسَى صَعِقاً فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu , dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".
Lafadz tersebut dianggap sebagai dalil bahwa tidak dapat melihat di dunia dan akhirat. Pendapat ini adalah di utarakan oleh Imama Haromain dalam kitab as-Samil.

D.           Tikrar sebagai salah satu bentuk ta’kid dalam al-Qur’an

            Faedah pengulangan dalam al-Quran berdasarkan analisis Imam Zarkasyi dalam kitabnya Al Burhan, ada beberapa faedah yang bisa disimpulkan dari pola tikrar dalam Al Quran, diantaranya yang pertama penegasan atau penguatan (ta’kid). Bahkan apabila dicermati, nilai penekanan yang dikandung pola takrir setingkat lebih kuat dibanding bentuk ta’kid. Keunggulan pola takrir ini disinyalir karena takrir mengulang kata yang sama, sehingga makna yang dimaksudkan akan lebih mengena. Lain halnya dengan pola ta’kid yang dalam penerapannya lebih sering menggunakan huruf atau perangkat yang mengindikasikan penegasan makna yang terkandung. Sebagaimana contoh berikut : (QS. Ali Imran (3) : 42.)
 وَإِذْ قَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللّهَ اصْطَفَاكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفَاكِ عَلَى نِسَاء الْعَالَمِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: “Hai maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu)”.

            Kedua kata yang dicetak tebal, sama-sama menggunakan lafal isthafaaki yang diulang dua kali, dengan tujuan agar keistimewaan yang ada pada Maryam semakin jelas dan menjadi bukti atas kesucian yang ia miliki.

            Faedah yang kedua pola takrir berfungsi untuk memperjelas dan memperkuat sebuah peringatan, sehingga kata-kata tersebut bisa dipahami dan diterima. Misalnya, pengulangan kata ya qoumi (Hai kaumku ) pada kedua ayat yang berdekatan dan maknanya saling berkaitan :

Contoh pada QS. Al Mukmin (42) : 38-39.
َقَالَ الَّذِي آمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ
“Orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar.
 يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara)”....
            Fungsi pola takrir yang ketiga, untuk menghindari sikap lupa yang disebabkan kalimat tertentu terlalu panjang, sehingga jika sebuah kata tidak diulangi, dikhawatirkan kata yang berada di awal akan terlupakan. Seperti pengulangan kata inna rabbaka (Sesungguhnya Tuhanmu) pada QS. An Nahl (16): 110.
 ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُواْ مِن بَعْدِ مَا فُتِنُواْ ثُمَّ جَاهَدُواْ وَصَبَرُواْ إِنَّ رَبَّكَ مِن بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
           
            Kemudian yang keempat untuk lebih menggambarkan agungnya sebuah perkara, atau sebuah mengisahkan jika betapa sebuah peristiwa itu sungguh menakutkan. Sebagaimana pemberitaan tentang hari kiamat pada ayat :               مَا الْحَاقَّةُ  الْحَاقَّةُ QS. Al Haaqah (69) : 1-2.
Selanjutnya faedah yang kelima, pola takrir ditempatkan sebagai ancaman dan intimidasi, seperti yang terdapat dalam ayat at Takaatsur (102) : 3-4:
žxx. šôqy tbqßJn=÷ès? ÇÌÈ   §NèO žxx. t$ôqy tbqßJn=÷ès? ÇÍÈ    
“Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.”

            Ancaman tersebut diulang dua kali seakan mengatakan kepada orang yang lalai, hendaknya ia segera bertaubat, karena sejatinya ia tidak akan mengetahui sebesar apakah balasan siksa yang kelak ia tanggung.



E.       Urgensi Kajian Ta’kid Dalam Al-Qur’an

            Alquran adalah mukjizat yang abadi dimana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validasi kemukjizatannya. Semakin sering Alquran dikaji, semakin dalam pula hikmah dan manfaat diperoleh. Maka maklum adanya, bila hampir seluruh penghuni bumi ini mengakui bahwa Alquran merupakan satu-satunya sumber yang mampu membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.

            Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Alquran diturunkan pertama kali kepada penduduk asli Arab yang telah memiliki corak dan tabiat yang sudah mendarah-daging jauh sebelum Alquran diturunkan. Maka tak heran, bila dibeberapa hal di dalam Alquran kita menjumpai kebiasaan dan tradisi bangsa Arab tersebut, salah satunya adalah kebiasaan mereka mengulang kata dalam melakukan pembicaraan atau dalam menyampaikan berita dengan tujuan untuk menguatkan informasi yang disampaikan dalam pembicaraan tersebut. Sehingga dengan begitu, fungsi ta’kid untuk menguatkan kebenaran khabar atau berita salah satu bentuknya memakai kaidah tikrar.

            Meski begitu, adanya kalimat ta’kid (penegasan) dalam Alquran bukanlah sebagai bentuk ikut-ikutan terhadap tradisi bangsa Arab kala itu, melainkan hanya untuk menguatkan informasi wahyu yang diturunkan Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW, apalagi kondisi jiwa bangsa Arab sebagai penerima wahyu dan kebenaran masih berbeda-beda. Ada yang memiliki kesiapan jiwa yang jernih serta hati yang fitrah sehingga dengan mudah mau menyambut petunjuk dan kebenaran hanya dalam waktu yang singkat. Namun ada pula yang memiliki jiwa tertutup oleh kejahilan dan gelapnya kebatilan sehingga susah menerima petunjuk dan kebenaran tersebut. Maka orang semacam ini perlu diberikan peringatan dan kalimat yang keras, sehingga dengan begitu diharapkan mampu berubah menuju kebaikan. Dengan begitu, kalimat ta’kid dalam perkataan Allah SWT melalui Alquran termasuk salah satu cara memperkuat ungkapan kalimat yang diiringi dengan bukti nyata, sehingga lawan dapat mengakui apa yang semula diingkarinya. Bahkan dengan menyertakan “ta’kid” atau kaliman penegas tersebut, tidak ada lagi alasan apapun untuk menantang kebenaran yang disampaikan.
Mohon koreksinya atas makalah ini,,,


BAB III
PENUTUP

            Dari pemaparan di atas, kita dapat menemukan bahwa ta’kid merupakan hal yang penting dalam ulumul Qur’an. Ta’kid secara bahasa bermakna penguatan, sedangkan menurut istilah  yang dikutip dari Audhahul Masalik fi Taramati Alfiyyah Ibnu Malik, taukid atau ta’kid adalah pengulangan (suatu lafadz) yang bertujuan untuk menetapkan perkara atau urusan yang diulang pada hati sami’ ( pendengaran ).
            Ta’kid dibagi menjadi dua macam, yaitu ta’kid lafdzi dan ta’kid ma’nawi. Penggunaan kata yang manta’kidi dalam ta’kid lafdzi dapat berupa nakiroh, huruf, isim fi’il, jumlah ta’kid dalam jumlah, dan jer majrur.  Sedangkan ta’kid ma’nawi dibagi menjadi dua, yaitu maknwi hakiki dan maknawi lil-ihatoh.
            Adapun media dan bentuk-bentuk ta’kid bisa dikategorikan menjadi dua, yakni ismiyah dan fi’liyah. Untuk ta’kid dalam lingkup jumlah ismiyah dapat berupa menggunakan inna/anna, kaanna, lakinna, lam ibtida’, al-fashl, dll. Sedangkan untuk ta’kid dalam jumlah fi’liyah dapat memakai huruf qad, sin li tanfis, nun as-syadidah, dan lan. Selain itu, bentuk ta’kid yang lain dapat berupa tikror (lafadz yang diulang-ulang), namun tidak semua lafadz yang diulang dapat dikategorikan ke dalam ta’kid.
            Adanya ta’kid dalam al-Qur’an untuk mempertegas dan menguatkan bahwa apa yang terkandung dalam al-Qur’an adalah benar adanya, bukan semata-mata meniru tradisi Arab yang mempunyai kebiasaan menta’kidkan ucapan mereka agar di anggap fashih.


DAFTAR PUSTAKA
al-Qattan, Manna’ Khalil.Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an terj. Mudzakir AS.Bogor: Lintera AntarNusa, 2007.
An-Nadwi, Muhammad Maftuhin Shalih.Audhahul Masalik fi Taramati Alfiyyah Ibnu Malik.Surabaya : Putera Jaya.1986
Az- Zarkasyi, Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah.Al Burhan fi Ulumil Qur’an.Daar al-Fikr. Juz II.
Muhammad, Syeikh.Matan Jurumiyah, terj. H. Moch. Anwar . Bandung: AlMaarif, 1972
Syamsuddin, Sahiron.“Relasi Antara Tafsir dan Realita Kehidupan” pengantar dalam buku Al-Qur’an & Isu-Isu Kontemporer.Yogyakarta: eLSAQ, 2011


[1] Lih. Kamus al-Munjid hal. 15
[2] Syeikh Muhammad bin Abdullah bin Malik, Matan Jurumiyah, terj. H. Moch. Anwar (Bandung: AlMaarif, 1972), hal. 276
[3] Muhammad Maftuhin Shalih An-Nadwi, Audhahul Masalik fi Taramati Alfiyyah Ibnu Malik (Surabaya : Putera Jaya, 1986) hal. 108
[4] Badruddin Muhammad, Burhan fi Ulumil Qur’an (Darul Fikr, tanpa tahun) hal. 385-387
[5] QS. Al-Fajr : 21
[6] QS. Al-Fajr : 22
[7] Lam ibtida bi ma’na ta’kid
[8]Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah Az- Zarkasyi, “Al Burhan fi Ulumil Qur’an”, Daar al-Fikr. Juz II. hal. 405
[9] Ibid, hal. 408
[10] إما= إن شرطية + ما تأكيد
[11] Ibid 417

content top