content top

Sabtu, 21 Januari 2012

Al-Muwatto' Kitab Hadits kah ????

Oleh        : Ahmad Taher & Nilda Hayati ( PBSB 2010)
Editor      : Fairuz kholili




A.      Biografi Imam Malik
1.    Nama dan Keturunan Imam Malik

            Imam Malik dilahirkan dikota Madinah di daerah negeri Hijaz pada tahun 93 H (712 M), dari pasangan Anas ibn Malik dan Aliyah ibnti Syuraik. Menurut suatu riwayat, Imam Malik berada dalam kandungan selam tiga tahun[1]. Nama beliau adalah Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Abi Amir ibn Amr ibn al-Haris ibn  Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Ashabi al-Madani, kunyah-nya Abu Abdullah, sedangkan laqabnya al-Ashabi , al-Madani, al-Faqih, al-Imam Dar
al-Hijrah , dan al-Humairi.Imam Malik juga terkenal dengan sebutan “Imam Darul Hijrah” [2]. Imam Malik memiliki silsilah yang sampai kepada tabi’in besar yaitu Malik dan kakek buyutnya yaitu Ibnu Amir seorang sahabat yang selalu mengikuti peperangan di zaman nabi Saw.
            Imam Malik menikah dengan seorang perempuan, dan memperoleh empat orang anak yaitu, Muhammad, Hammad, dan Yahya, dan Fatimah. Menurut ibn Umar, Fatimah satu-satunya anak perempuan Imam Malik - yang digelari dengan Umm al-Mu’minin- dengan tekun mempelajari dan mempelajari dengan baik kitab al-Muwatta’.[3]
            Imam Malik meninggal pada hari ahad 12 Rabi’ul Awwal 179 H dalam usia 87 tahun, setelah satu bulan menderita sakit, dikebumikan di kuburan Baqi’. Beliau berwasiat untuk dikafani dengan pakaiannnya yang putih dan dishalatkan di tempat meninggalnya.[4]

2.    Kepribadian Imam Malik

            Imam Malik memiliki budi pekerti yang luhur, suka menolong dan tidak suka membual, kata-kata yang beliau ucapkan adalah kata-kata yang bermanfaat sehingga beliau sangat dihormati. Beliau adalah seorang guru yang memiliki kepribadian luhur dan sangat dihormati oleh murid-murid beliau.
            Beliau sangat menjunjung tinggi hadits nabi Muhammad saw. beliau sangat marah bila ada di antara murid-muridnya yang meninggikan suaranya pada waktu membaca hadits nabi Saw. Penghormatan beliau terhadap hadits nabi  Saw. tidak itu saja, bahkan, Imam Malik dalam  menyampaikan atau mengajarkan hadis nabi Saw. kepada orang lain, beliau langsung masuk ke tempat mandi lalu mandi atau berwudhu lalu memakai pakaian yang bagus dan bersih dan memakai wangi-wangian dan duduk di tempat yang istimewa, beliau ketika membaca dan menyampaikan hadis nabi Saw. dalam keadaan suci.[5]
            Abdullah Ibn Mubarak berkata : pada suatu saat, saya pernah belajar hadis di majlisnya Imam  Malik. Pada saat itu ia digigit kalajengking mungkin sampai enam belas kali gigitan sehinnga ia kelihatan pucat, tapi ia tidak berhenti ketika membaca hadis tersebut. Setelah pengajian selesai, Ibn Mubarok menceritakan hal tersebut, lalu Imam Malik menjawab “ ya, saya tahu,  tapi aku sabar menahannya supaya hadis nabi yang saya baca tidak terpotong bacaannya[6].
            Selain itu, beliau adalah sosok ulama yang sangat istiqamah dan bertanggungjawab dengan apa yang telah difatwakan asalkan itu benar sesuai dengan al-Qur’an dan hadits nabi Saw., meskipun beliau akan dimusuhi oleh masyarakat atau penguasa sekalipun, hal ini terjadi pada waktu beliau menyampaikan fatwa mengenai talak yang dipaksakan itu tidak sah, kemudian fatwa tersebut didengar oleh Khalifah yang memimpin pada waktu itu, Ja’far al- Manshur, beliau diminta untuk menarik fatwa tersebut, namun Imam Malik tidak setuju karena fatwa yang beliau sampaikan itu sesuai dengan hadis nabi Muhammad Saw.
            Khalifah Abu Ja’far tidak suka mendengar hadits tersebut disebabkan beliau tidak mau hadits itu dijadikan hujjah kepada pihak musuh beliau. Sebab dengan hadits itu pihak musuh akan menolak perjanjian (Bai’ah) Pelantikan al- Manshur lantaran mereka dipaksa. Abu Manshur pernah melarang Imam Malik supaya tidak menggunakan hadits tersebut di atas. Namun Imam Malik tidak mau menuruti perintah, oleh karenanya beliaupun disiksa. Di antara sebab lain yang pula menyebabkan beliau berurusan dengan pemerintah adalah karena beliau berpendapat bahwa nikah mut’ah adalah haram. Sedangkan pendapat Ibnu Abbas nikah mut’ah adalah boleh. Ibnu Abbas ini adalah ketua keluarga Kholifah Abbasiyyah. Oleh sebab itu orang-orang Abbasiyyah memusuhi Imam Malik.[7]
            Imam Malik juga adalah seorang yang sangat kuat ingatannya/hafalannya. Bayangkan saja, menurut suatu cerita  Imam Malik pernah menjumpai Sa’id ibn Musayyab, ‘Urwah, Qosim, Abu Usamah, Hamid, Salim, dan sejumlah orang lainnya,  dan setiap satu dari orang-orang tersebut ia mendengarkan/ mendapatkan hadis dari mereka sekitar 50-100 hadis. Ketika Imam Malik selesai menjumpai dan mendapatkan hadis dari mereka, ia sudah langsung hafal dalam  ingatannya semua hadis-hadis yang ia terima tersebut tanpa bercampur antara satu hadis dengan hadis yang lainnya.[8]
            Selain itu, Imam Malik juga adalah seorang yang sangat baik hatinya dan sangat ikhlas. Diceritakan bahwa Imam Malik ketika sudah selesai menulis kitab al-Muwatta’, ia melempar  (menaruh)  kitab itu ke dalam air, lalu ia berkata :jika aku tidak ihklas dalam hal ini maka tidak mengapa kalau kitab ini rusak. Faktanya kitab Muwatta’ tersebut tidak rusak sama sekali (walaupun tulisannya) meskipun sudah terkena air. Imam Malik juga ketika di tanya tentang suatu hukum sangat sering mengatakan  “ saya tidak tahu “ , karena sangat takut sekali memberikan fatwa yang salah karena tidak mempunyai sandaran ilmu  yang benar. Imam Malik berkata “ saya tidak malu mengatakan saya tidak tahu kalau saya memang tidak tahu[9]. Imam Malik juga seorang yang merasa  dirinyalah yang paling benar. Ma’an ibn isa pernah berkata : saya mendengar malik berkata : “ Aku hanyalah seorang manusia yang berlaku salah dan benar, karenanya telitilah pendapatku. Mana yang sesuai dengan sunnah maka ambillah dia”.[10]

3.    Guru-Guru, Murid-Murid, dan Karya-Karya Imam Malik

            Beliau mempelajari ilmu pada ulama-ulama Madinah kepada para tabi’in, para cerdik pandai, dan para ahli hukum agama. Guru beliau yang pertama adalah Abdur Rahman ibn Hurmuz, beliau dididik menjadi seorang anak yang cerdas pikiran, cepat menerima pelajaran, kuat ingatan dan teliti. Dari kecil beliau telah hafal al-Qur’an dan sunnah-sunnah nabi, selanjutnya menganjak umur dewasa beliau belajar pada para ulama dan fuqaha. Beliau mempelajari setiap pemikiran-pemikiran mereka serta menganalisa kaidah-kaidah yang beliau dapati dari guru beliau tersebut, sehingga lahirlah beliau menjadi seorang Imam Malik yang sangat brilian dan cerdas dalam menanggapi segala persoalan agama Islam.[11]
            Menurut Amin al-Khulli, diantara guru-guru beliau yang terkemuka adalah:[12]
1.        Rabi’ah ibn Ra’yi ibn abi Abdurrahman Furuh al-Madani (w. 136 H), beliau adalah guru yang mengajari Imam Malik ilmu akhlak, ilmu fiqh, dan ilmu hadis. ada 12 riwayat hadis yang diriwayatkan (lima musnad dan satu mursal)
2.        Ibnu Hurmuz abu Bakar ibn Yazid (w. 147 H), beliau mengajari Imam Malik dalam ilmu kalam, ilmu i’tiqad, dan ilmu fiqh, ada 54-57 hadis yang diriwayatkan dari beliau.
3.        Ibnu Syihab az-Zuhri (w. 124 H), Imam Malik meriwayatkan 132 hadis darinya dengan rincian 92 musnad dan yang lainnya mursal.
4.        Nafi’ ibn Surajis Abdullah al-Jaelani (w. 120 H), Imam Malik mendapat 80 hadis dari beliau.
5.        Ja’far Shadiq ibn Muhammad ibn ali al-Husain ibn Abu  Thalib al-Madani (w. 148 H), Imam  Malik meriwayatkan sembilan hadis tentang manasik haji darinya.
6.        Muhammad ibn al-Munkadir ibn al-Hadiri al-Taimy al-Qurasyi (w. 132 H), beliau adalah seorang ahli hadis dan qari’, ahli fiqh Hijaz dan Madinah.
       Murid-murid Imam Malik dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok:
1.        Dari kalangan tabi’in di antaranya Sufyan al-Saury, al-Lais ibn Sa’id, Hammad ibn Zaid, Sufyan ibn Uyainah, abu Hanifah, abu Yusuf, Syarik ibn Lahi’ah, dan Ismail ibn Khatir.
2.        Dari kalangan tabi’it-tabi’in diantaranya al-Zuhri, Ayub al-Syaktiyani, Abul Aswad, Rabi’ah ibn Abdurrahman, Yahya ibn Sa’id al-Anshari.
3.        Bukan tabi’in diantaranya Nafi’ ibn Abi Nu’aim, Muhammad ibn Aljan, Salim ibn abi Umaiyah, Abu al-Nadri, Maula Umar ibn Abdullah, Asy-Syafi, dan Ibn Mubarak.

       Karya-Karya Beliau[13]
1) Al-Muwatta’, 2) Risalah fi al-Qadr, 3) Risalah fi Nujum wa Manazil al-Qamar, 4) Risalah fi al-Aqdhiyah, 5) Risalah ila Abi Ghassan Muhammad, 6) Risalah ila Lais bin Sa’ad fi Ijma’ Ahl Madinah, 8) Juz’un fi Tafsir, 9) Kitab as-Sirri, 10) Risalah ila Rasyid, 11) Al-Mudawwanatul Kubra.
Dari sekian kitab yang ditulis oleh Imam Malik, hanya kitab Al-Muwatta’ dan Al-Mudawwanatul Kubra yang sampai ke tangan kita.

B.       Mengenal Kitab al-Muwatta’
1.    Latar Belakang Penyusunan

Menurut Noel J. Coulson, problem sosial politik menjadi hal yang paling berpengaruh yang melatarbelakangi penyusunan kitab Al-Muwatta’. Konflik politik negara yang terjadi pada masa transisi Daulah Umayyah-Abasyiah sehingga melahirkan tiga kelompok besar (Khawarij-Syi’ah, dan keluarga istana) Disamping itu, kondisi sosial masyarakat yang tidak stabil mengakibatkan sangat mudahnya terjadi perbedaan pemikiran khususnya dalam bidang hukum perbedaan metode nash dan rasio di antara mereka.
Namun, menurut riwayar yang lain, penyusunan kitab ini dilatarbelakangi karena adanya permintaan dari Ja’far al-Manshur atas usulan Muhammad ibn al-Muqaffa’ agar Imam Malik menyusun undang-undang yang menjadi jalan tengah atas perbedaan yang terjadi antara kedua belah pihak. Imam Malik menerima usulan tersebut namun beliau menolak undang-undang yang beliau susun dijadikan sebagai kitab standar negara. Namun, menurut pendapat yang lain, bahwa selain adanya dukungan dari khalifah Ja’far bin Manshur agar beliau menyusun sebuah undang-undang, beliau juga telah mempunyai kenginan untuk menyusun sebuah kitab agar memudahkan umat Islam untuk memahami agama.[14]
Menurut  satu riwayat lagi, dijelaskan  bahwa  Abdul Aziz ibn Al-Majisyun menyususn suatu kitab yang di dalamnya tidak ada disebutkan  hadis- hadis nabi. Ketika Imam Malik melihat kitab tersebut,  ia berkata “ Alangkah bagus tulisan ini apalagi kalau diikuti dengan hadis-hadis nabi SAW. Dari sinilah kemudian Imam Malik berniat menulis suatu kitab (fiqh) yang memuat banyak hadis nabi karena kecintaannya kepada hadis nabi[15]

2.    Penamaan Kitab

Penamaan al-Muwatta’ merupakan penamaan yang diberikan oleh Imam Malik sendiri, namun ada perbedaan pendapat mengenai kenapa kitab yang ditulis oleh Imam Malik dinamakan al-Muwatta’. Pertama, sebelum kitab ini disbarluaskan Imam Malik menyodorkan karyanya pada 70 orang ulama fiqh Madinah, mereka menyepakati kitab tersebut, maka dinamailah denagan kitab al-Muwatta’. Kedua, kata muwatta’ yang berarti “memudahkan” diharapkan memberikan kemudahan bagi setiap orang dalam memahaminya. Ketiga, penamaan al-Muwatta’ karena kitab ini merupakan perbaikan terhadap kitab fiqh sebelumnya.[16]

3.    Isi Kitab

Kitab al-Muwatta’ ini tidak hanya berisi hadis-hadis yang disandarkan kepada nabi Muhammad Saw., akan tetapi juga disandarkan pada sahabat, tabi’in, ijma’ ahli Madinah serta pendapat Imam Malik sendiri. Dalam kitab ini, terdapat hadis yang berstatus muttasil, mursal, munqathi’, dan al-balaghat[17].
a.         Hadis disandarkan kepada nabi
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ لَوْلَا أَنْ يَشُقَّ عَلَى أُمَّتِهِ لَأَمَرَهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ وُضُوءٍ[18]
b.        Hadis yang disandarkan kepada sahabat
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ أَنَّهُ قَالَ رَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَبُولُ قَائِمًا[19]
c.         Hadis yang disandarkan kepada tabi’in
حَدَّثَنِي مَالِك عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ كَانَ إِذَا سَمِعَ الرَّعْدَ تَرَكَ الْحَدِيثَ وَقَالَ سُبْحَانَ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ ثُمَّ يَقُولُ إِنَّ هَذَا لَوَعِيدٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ شَدِيدٌ[20]

Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah hadis dan status hadis yang terdapat di dalam kitab al-Muwatta’:
a.         Sufyan ibn Uyainah dan al-Suyuti mengatakan seluruh hadis yang diriwayatkan oleh iamam malik adalah shahih, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang terpecaya.
b.        Ibnu Habbab yang dikutip Abu Bakar al-‘Arabi dalam Syarh al-Tirmizi menyatakan ada 500 hadis yang disaring dari 100.000 hadis.
c.         Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyatakan bahwa hadis yang termuat dalam al-Muwatta’ adalah hadis shahih menurut Imam Malik dan pengikutnya.
d.        Abu Bakar al-Abrahi berpendapat ada 1726 hadis dengan perincian 600 musnad, 222 mursal, 613 mauquf, dan 285 qaul tabi’in.
e.         Al-Harasi dalam Ta’liqat fi al-Usul mengatakan kitab Malik memuat 700 hadis dari 9000 hadis yang telah disaring.
f.         Abu al-Hasan bin Farh dalam Fadail mengatakan ada 10.000 hadis dalam kitab al-Muwatta’
g.        Arnold John Wensinck menyatakan dalam al-Muwatta’ ada 1612 hadis.
h.        Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi menyatakan dalam kitab al-Muwatta’ terdiri dari 1824 hadis.
i.          Ibn Hazm berpendapat terdapat 500 hadis musnad, 300 lebih hadis mursal, 70 lebih hadis yang tidak diamalkan oleh Imam Malik dan beberap hadis da’if.
j.          Al-Ghafiqi berpendapat bahwa ada 27 hadis mursal dan 15 hadis mauquf.
k.        M. Syuhudi Ismail menyatakan dalam kitab al-muwatta’ terdapat 1804 hadis.
l.          Hasbi ash-Shiddiqi menyatakan bahwa di dalam kitab al-Muwatta’ ada hadis shahih, hasan, dan dha’if meslkipun tidak menyebut jumlahnya secara pasti.

Perbedaan pendapat mengenai jumlah hadis yang terdapat dalam kitab al-Muwatta’ disebabkan karena adanya perbedaan periwatan dan perbedaan cara menghitung hadis, ada yang menghitungnya berdasarkan jumlah hadis yang disandarkan kepada nabi saja, ada pula yang menghitung berdasarkan hadis yang disandarkan pada sahabat, tabi’in yang terdapat di dalamnya.
Banyak terdapat naskah-naskah kitab al-Muwatta’ yang ditulis oleh ulama setelah Imam bin Malik, ada yang mengatakan ada 14 naskah menurut as-suyuti, menurut al-Kahlawi ada 16 naskah, dan menurut Qadi ‘Iyadh ada 30 naskah, namun diantara naskah tersebut naskah yang diriwayatkan oleh Yahya bin Yahya al-Andalusi yang paling popular.

4.    Sistematika Kitab

     Kitab al-Muwatta’ adalah kitab hadis yang bersistematika fiqh.
Juz I
1) Waktu -waktu salat,80 tema, 30 hadis, 2) Bersuci, 32 tema, 115 hadis, 3) Salat, 8 tema, 70 hadis, 4) Lupa dalam salat, satu tema, tiga hadis, 5) Salat jum’at, 9 tema, 21 hadis, 6) Salat pada bulan ramadhan, 2 tema, 7 hadis, 7) Salat malam, 5 tema, 33 hadis, 8) Salat jama’ah, 10 tema, 32 hadis, 9) Mengqasar salat dalam perjalanan, 25 tema, 95 hadis, 10) Dua hari raya, 7 tema, 13 hadis, 11) Salat dalam keadaan takut, satu tema, empat hadis, 12) Salat gerhana matahari dan bulan, dua tema, empat hadis, 13) Salat minta hujan, tiga tema, enam hadis, 14) Menghadap kiblat, enam tema, 15 hadis, 15) Al-Qur’an, 10 tema, 49 hadis, 16) Salat mayat, 16 hadis, 59 hadis, 17) Zakat, 30 tema, 55 hadis, 18) Puasa, 22 tema, 60 hadis, 19) I’tikaf, 8 tema, 16 hadis, 20) Haji, 83 tema, 225 hadis.

Juz II
21) Jihad, 21 tema, 50 hadis, 22) Nadhar dan sumpah, 9 tema, 17 hadis, 23) Qurban, enam tema, 13 hadis, 24) Sembelihan, empat tema, 19 hadis, 25) Binatang buruan, tujuh tema, 19 hadis, 26) Aqiqah, dua tema, tujuh hadis, 27) Faraid, 15 tema, 16 hadis, 28) Nikah, 22 tema, 58 hadis, 29) Talak, 35 tema, 109 hadis, 30) Persusuan, tiga tema, 17 hadis, 31) Jual beli, 49 tema, 101 hadis, 32) Pinjam-meminjam, 15 tema, 16 hadis, 33) Penyiraman, dua tema, tiga hadis, 34) Meneyewa tanah, satu tema, lima hadis, 35) Syufa’ah, dua tema, empat hadis, 36) Hukum, 41 tema, 54 hadis, 37) Wasiat, 10 tema, Sembilan  hadis, 38) Kemerdekaan dan pesaudaraan, 13 tema, 25 hadis, 39) Budak mukatabah, 13 tema, 15 hadis, 40) Budak mudharabah, tujuh tema, delapan hadis, 41) Hudud, 11 tema, 35 hadis, 42) Minuman, lima tema, 15 hadis, 43) Orang yang berakal, 24 tema, 16 hadis, 44) Sumpah, lima tema, dua hadis, 45) Al-Jami’, tujuh tema, 26 hadis, 46) Qadar, dua tema, 10 hadis, 47) Akhlaq yang baik, empat tema, 18 hadis, 48) Memakai pakaian, delapan tema, 19 hadis, 49) Sifat nabi saw., 13 tema, 39 hadis, 50) Mata, tujuh tema, 18 hadis, 51) Rambut, lima tema, 17 hadis, 52) Penglihatan, dua tema, tujuh hadis, 53) Salam, tiga tema, delapan hadis, 54) Minta izin, 17 tema, 44 hadis, 55) Bai’ah, satu tema, tiga hadis, 56) Kalam, 12 tema, 27 hadis, 57) Jahanam, satu  tema, dua hadis, 58) Sadaqah, tiga tema, 15 hadis, 59) Ilmu, satu tema, satu hadis, 60) Dakwah orang yang teraniaya, satu tema, satu hadis, 61) Nama-nama nabi muhammad Saw., satu tema, satu hadis[21].

5.    Metode Kitab dan Kualitas Hadisnya

            Meskipun tidak ada pernyataan yang secara tegas menjelaskan  metode yang digunakan oleh Imam Malik dalam menghimpun kitab al-Muwatta’, namun secara implisit kita dapat mengetahui bahwa metode yang dipakai adalah metode pembukuan hadis berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab fiqhiyyah) dengan mencantumkan hadis marfu’, mauquf, dan maqtu’. Imam Malik menggunakan tahapan-tahapan berupa: penyeleksian terhadap hadis-hadis yang disandarkan kepada nabi, atsar (fatwa sahabat), fatwa tabi’in, ijma’ ahli Madinah, dan pendapat Imam Malik sendiri.
Penggunaan metode penulisan seperti ini tidak lepas dari keadaan sosial masyarakat pada waktu itu, dimana pada saat kitab Al-Muwatta’ disusun, kehidupan masyarakat semakin kompleks dan permasalahan yang dihadapi semakin banyak, sehingga masyarakat membutuhkan undang-undang yang dijadikan pedoman bagaimana mereka menjalankan hukum Islam. Oleh sebab itu, inilah alasan Imam Malik menyusun kitab al-Muwatta’ tidak hanya berdasarkan pada hadis Nabi saja, namun beliau memasukkan pendapat beliau dalam kitab ini, termasuk pendapat sahabat dan tabi’in. Karena, dengan bertambahnya jarak masa antara Rasulullah Saw. dengan para sahabat dan para tabi’in, pemahaman terhadap hadis nabi juga akan berbeda sehingga dibutuhkan syarah (penjelasan) terhadap hadis nabi sesuai dengan masanya.  Jadi, susunan semacam inilah yang paling tepat dan paling baik pada masanya. 
            Di samping itu, ada beberapa hadis yang mata rantai periwayatnya tidak sempurna, seperti ada nama yang terbuang. Namun, matannya, apabila dikoNfirmasi dengan hadis yang ditulis dengan hadis yang ditulis oleh Bukhari-Muslim, maka sanad hadisnya akan ditemukan dalam kitab tersebut secara langusung.
Berkat ketelitian Imam Malik maka hadis yang diriwayatkannya secara marfu’ dan muttashil dijamin shahih. Bahkan, hadisnya yang mursal matannya tetap shahih. Artinya, setelah matan tersebut dikonfirmasi dengan jalur riwayat lain yang shahih ternyata shahih. Meskipun beliau menerima hadis mursal namun tidak semuanya diterima. Beliau menerima hadis semacam itu apabila para periwayatnya dapat dipercaya. Menurut Rif’at Fauzi Abdul Muthalib, didalam kitab al-Muwatta’ termuat 1720 hadis. Hadis musnad berjumlah 600 buah, mursal 222 hadis, yang mauquf 613 hadis, dan yang qaul tabi’in sebanyak 285 hadis. Sikap ini diambil oleh Imam Malik tidak lepas dari kondisi keilmuan pada masa itu yang apabila sebuah hadis didengar oleh seorang tabi’in dari beberapa orang sahabat, ia tidak lagi menyebut nama sahabat satu persatu. Hal ini dapat dilihat dalam perkataan Hasan Al-Bishri: ”Jika empat sahabat berkumpul untuk periwayatan satu hadis maka saya tidak menyebut lagi nama sahabat.” Ia juga pernah berkata: “jika aku berkata haddatsani fulanun, maka hadis itu saya terima dari satu orang saja. Tepai bila aku berkata:” Qaala Rasulullah Saw.” maka hadis itu saya dengar dari 70 orang sahabat atau lebih. Hal inilah yang member peluang masuknya hadis-hadis mursal ke dalam kitab al-Muwatta’.
Menurut Imam Malik, hadis yang dapat diterima harus memenuhi syarat berikut:
1.      Hadis tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
2.      Hadis tersebut masyhur dan diamalkan oleh masyarakat Madinah.. Imam Malik tidak meriwayatkan hadis yang tidak terkenal, dan meninggalkan hadis yang asing.[22]
Dalam mengkritisi periwayatan hadis, Imam Malik mengemukakan empat kriteria: periwayat bukan orang yang berprilaku jelek, bukan ahli bid’ah, bukan orang yang suka berdusta dalam hadis, dan bukan orang yang tahu ilmu tanpa mengamalkannya. 

3.    Kitab-Kitab Syarahnya

a.       At-Tamhid Lima fi al-Muwatta’ min al-Ma’ani wal Asanid karya Ibnu Umar bin Abdil bar al-Namri al-Qurthubi (w. 463 H).
b.      Al-Istizkar fi Syarh al-Mazahib ulama al-Amsar karya ibnu abdil barr (463 H).
c.       Kasyf al-Mugti fi Syarh al-Muwatta’ karya Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H).
d.      Tanwirul Hawalik, karya Jaluddin al-Suyuti (w. 911 H).
e.       Syarah al-Ta’liq al-Mujammad ala Muwatta’ karya al-Haki ibn Muhammmad.
f.       Al-Muntaqa karya abu Walid al-Bajdi (w. 474 H).
g.      Al-Maswa karya al-Dahlawi al-Hanafi (1176 H).
h.      Syarh al-Zarqani al-Misri (w. 1014 H).

Al-Muwatta’  Kitab Fiqh atau Kitab Hadiskah?

Perbedaan pendapat terjadi ketika mempertanyakan apakah kitab al-Muwatta’ ini kitab hadis murni, kitab fiqh murni atau kitab fiqh sekaligus kitab hadis.
Menurut Abu Zahra, beliau mengatakan bahwa al-Muwatta’ adalah kitab fiqh, argument yang dipegangi, tujuan Imam Malik menulis hadis adalah untuk melihat fiqh dan undang-undang bukan keshahihannya.
Sejalan dengan pendapat Ali Abu Hasan Abdul Qadir mengatakan bahwa al-Muwatta’ adalah kitab fiqh dengan dalil hadis, karena dalam tradisi penulisan kitab fiqh seringkai hanya ada penulisan sanad yang tidak lengkap bahkan tidak sama sekali dengan tujuan keringkasan  penjelasan.
Berbeda dengan pendapat Abu Zahwu bahwa al-Muwatta’ bukan semata-mata kitab fiqh akan tetapi ini adalah kitab hadis yang disusun dengan sistematika fiqh, selain itu Imam Malik juga mengkritik riwayat hadis yang ada dalam kitab tersebut dan beliau juga menggunakan kriteria-kriteria dalam menyusun kitab tersebut. 

7.      Pendapat Ulama terhadap Kitab al-Muwatta’

            Kepandaian  Imam Malik di bidang ilmu hadis dapat kita ketahui dari ulama-ulama yang pernah berguru dan menuntut ilmu pada beliau, diantaranya:
a.       Imam Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i berkata: “Apabila datang hadis kepadamu dari Imam Malik, maka pegang teguhlah olehmu dengan kedua tanganmu, karena ia menjadi alasan bagimu”. Mengenai hadis yang ada dalam kitab al-Muwatta’ Asy-Syafi’i berkata: ”Di dunia ini tidak ada kitab selain al-Qur’an yang lebih shahih daripada kitab Malik.”[23]
b.      Imam Abdurrahman ibn Mahdi berkata: ”Saya belum pernah mendahulukan satu orang pun tentang shahihnya hadis daripada Imam Malik”. Beliau juga berkata: ”Tidak ada di muka bumi ini seorangpun pada masa itu yang lebih dipercayai tentang hadis selain Imam Malik”.[24]
c.       Imam Yahya ibn Mu’in pernah berkata: ”Imam Malik adalah seorang raja bagi orang-orang yang beriman tentang ilmu hadis, yakni seorang yang tertinggi tentang ilmu hadis”.[25]
d.      Al-Hafiz al-Muglatayi al-Hanafi: ”Buah karya Imam Malik adalah kitab shahih pertama kali.”
e.       Ibn Hajar: ”Kitab Malik shahih menurut Malik dan pengikutnya.”
f.       Al-Dahlawi menyatakan bahwa al-Muwatta’ adalah kitab shahih, masyhur yang paling terdahulu pengumpulannya.[26]

     Tapi ada seorang orientalis yang memberikan kritikan terhadap karya Imam Malik yaitu Joseph Schacht. Schacht meragukan keaslian hadith dalam Al-Muwatta’, di antara hadith yang dikritiknya adalah tentang bacaan ayat sajdah dalam khutbah Jum’ah oleh Khatib.
عن هشام ين عروة عن أبيه أن عمر بن الخطاب قرأ سجدة وهو على المنبر يوم الجمعة فنزل فسجد الناس معه ثم قرأها يوم الجمعة الأخرى. فتهيأ الناس السجود فقال على رسلكم  إن الله ثم يكتبها علينا إلا أن نشأ فلم يسجد ومنهم أن يسجد.
     Dalam pandangan Schacht, hadith tersebut putus sanadnya, padahal dalam riwayat Bukhari sanadnya bersambung. Menurutnya, dalam naskah lama kitab Al-Muwatta’ terdapat kata-kata “dan kami bersujud bersama Umar”. Kata-kata ini tidak pernah diucapkan oleh Urwah, hanya dianggap ucapannya. Oleh karenanya, dari pendekatan sejarah bererti naskah/teks hadith lebih dahulu ada, baru kemudian dibuatkan sanadnya. Sanad tersebut untuk kemudian dikembangkan dan diselidiki sedemikian rupa dan disebut berasal dari masa silam.
Tuduhan Schacht tersebut dibantah oleh Muhammad Mustafa A’zami, teks tersebut adalah sesuai dengan naskah aslinya, karena naskah asli tulisan Malik tidak diketemukan. Para pensyarah Al-Muwatta’ seperti Ibnu ‘Abdil Barr dan az-Zarqani sama sekali tidak pernah menyinggung tentang adanya naskah lama seperti yang disebut Schacht. Secara umum A’zami menyatakan apa yang dilakukan Schacht dalam penelitian keaslian sanad dengan mengambil contoh hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Fiqh seperti Al-Muwatta’ Imam Malik, Al-Muwatta’ al-Syaibani dan al-Umm al-Syafi’i adalah tidak tepat, karena pada umumnya ciri-ciri yang dipakai dalam kitab-kitab fiqh ataupun sejarah tidak memberi data secara  lengkap urutan sanadnya, tetapi mencukupi menyebutkan sumbernya atau sebahagian sanadnya.
Hal lain yang dikritik Schacht adalah tentang 80 hadis dalam Al-Muwatta’ yang disebut “Untaian Sanad Emas”, yaitu Malik-Nafi’-Ibnu Umar. Schact meragukan untaian sanad tersebut, alasannya usia Imam Malik terlalu muda (15 tahun). Apa mungkin riwayat dari anak usia 15 tahun diikuti banyak orang, sementara masih banyak ulama besar lain di Madinah. Alasan lainnya, Nafi’ pernah menjadi hamba sahaya dalam keluarga Ibnu Umar, sehingga kredibilitinya perlu dipertanyakan.
Hal tersebut disanggah Azami, Schacht dianggap keliru dalam menghitung usia Malik, seharusnya Schacht menghitung umur Malik saat Nafi’ wafat bukan dari tahun wafatnya Malik. Sehingga usia Malik saat itu adalah 20-24 tahun. Pada usia-usia tersebut bukan terlalu muda untuk dianggap sebagai seorang ulama. Adapun tentang  Nafi’ yang bekas hamba Ibnu Umar, sebenarnya itu tidak menjadi masalah kerana penerimaan seorang rawi yang paling penting adalah “dapat dipercaya”, dan Nafi dianggap orang yang paling dipercaya dalam meriwayatkan hadith dari Ibn Umar. Di samping dalam hal ini Nafi’ bukan satu-satunya orang yang meriwayatkan hadith Ibn Umar, sehingga bisa dijadikan pembanding dan mungkinkah ribuan rawi di perbagai tempat bersepakat berbohong untuk menyusun sanad tersebut?

Mengapa al Muwatta’ Tidak Termasuk dalam Kutub al-Sittah?

            Kita mengenal istilah Kutubut al-Sittah yang terhimpun dari kitab Shahih Bukhari, kitab Shahih Muslim, kitab Sunan at-Tirmizi, kitab Sunan An-Nasa’i, Kitab Abu Daud, kitab Sunan Ibnu Majah. Pengkategorian keenam kitab tersebut ke dalam kategori Kutub al-Sittah berdasarkan pada penilaian kualitas hadis yaitu hadis shahih, yang jumlahnya lebih banyak  dibandingkan dengan jumlah hadis shahih yang terdapat dalam kitab lain yang tidak termasuk Kutub al-Sittah. Sedangkan kitab al-Muwatta’ tidak hanya terdiri dari hadis-hadis nabawi yang  disandarkan kepda Rasulullah akan tetapi juga disandarkan pada sahabat, tabi’in, ijma’ ahli Madinah serta pendapat Imam Malik sendiri. Dalam kitab ini, juga terdapat hadis yang berstatus muttasil, mursal, munqathi’, dan al-balaghat.
Selain itu, alasan kenapa kitab al-Muwatta’ tidak dikategorikan pada Kutub as-Sittah, jika kita lihat isi kitab ini, kitab al-Muwatta’ adalah kitab fiqh, argumen yang dipegangi, tujuan Imam Malik menulis hadis adalah untuk melihat fiqh dan undang-undang bukan keshahihannya. Al-Muwatta’ adalah kitab fiqh dengan dalil hadis, karena dalam tradisi penulisan kitab fiqh seringkali hanya ada penulisan sanad yang tidak lengkap bahkan tidak sama sekali dengan tujuan keringkasan  penjelasan (atau disebut juga hadis maqthu’).




KESIMPULAN

     Al Muwatta' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
     Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang sangat menekankan terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan.
Dari paparan di dalam tulisan ini, ada beberapa perkara yang dapat dirumuskan :
1.   Kitab Al-Muwatta’ disusun Imam Malik atas usulan Khalifah Ja’far al-Mansur dan keinginan kuat dari dirinya yang berniat menyusun kitab yang dapat memudahkan umat Islam memahami  agamanya.
2.   Kitab Al-Muwatta’ tidak hanya menghimpun hadith Nabi SAW, tetapi juga memasukkan pendapat sahabat, Qaul Tabi’in, Ijma’ Ahlul Madinah dan pendapat Imam Malik. Menurut Fuad Abdul Baqi, Al-Muwatta’  memuatkan 1824 hadith dengan kualitas yang beragam dengan aturan penyusunan hadith berdasar klasifikasi hukum (abwab fiqhiyyah). Kitab ini terdiri dari dua juz dan 61 bab.     
3.   Dalam mengkritisi periwayatan hadis, Imam Malik mengemukakan empat kriteria: periwayat bukan orang yang berprilaku jelek, bukan ahli bid’ah, bukan orang yang suka berdusta dalam hadis, dan bukan orang yang tahu ilmu tanpa mengamalkannya.      
DAFTAR PUSTAKA

Al-Laitsy, Yahya ibn Yahya al-Laitsy, Al-Muwatta’ li Yahya ibn Yahya al-Laitsy.
Ash-Shiddiqy, Hasbi. Ridjalul Hadits, cet. II. Yogyakarta: Matahari, 1970.
Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Garfindo Persada, 1996.
http://blog.uin-malang.ac.id/member
 Ismail, Syuhudi. Cara Praktis Mencari Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Malik, Imam,  Al Muwatta’, CD al Maktabah al Syamilah.
Najwah, Nurun.  “Kitab al-Muwatta’ Imam Malik”, Studi Kitab Hadis, cet. II. Yogyakarta: TERAS, 2009.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, cet. II, 2003.












[1] Yahya ibn Yahya al-Laitsy, Al-Muwatta’ li Yahya ibn Yahya al-Laitsy. hlm 5.
[2] Hasbi ash-Shiddiqy. Ridjalul Hadits. hlm 49.
[3] Nurun Najwah.  “Kitab al-Muwatta’ Imam Malik”, Studi Kitab Hadis, cet. II, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm. 2
[4] Nurun Najwah, hlm. 7
[5] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT. Garfindo Persada, 1996), hlm. 197
[6] Yahya ibn Yahya al-Laitsy, Al-Muwatta’ li Yahya ibn Yahya al-Laitsy, hlm 7.
[7] http://blog.uin-malang.ac.id/member
[8] Yahya ibn Yahya al-Laitsy, Al-Muwatta’ li Yahya ibn Yahya al-Laitsy, hlm 6
[9] Yahya ibn Yahya al-Laitsy, Al-Muwatta’ li Yahya ibn Yahya al-Laitsy, hlm 8
[10] Hasbi ash-Shiddiqy, Ridjalul Hadits, cet. II, (Yogyakarta: Matahari, 1970), hlm 49
[11] M. Ali Hasan, hlm, 196
[12] Nurun Najwah, hlm. 4-5
[13] Mausu’ah, Imam Malik, CD ROM
[14] Nurun Najwah, hlm. 8
[15] Yahya ibn Yahya al-Laitsy, Al-Muwatta’ li Yahya ibn Yahya al-Laitsy, Hlm 9
[16] Nurun Najwah, hlm. 8
[17] Hadis al-balaghat adalah hadis yang terdapat kata balaghani  ‘an fulan
[18] Imam Malik,  Al Muwatta’, CD al Maktabah al Syamilah, no. 133.
[19] Imam Malik, no. 130.
[20] Imam Malik, no. 1576.
[21] Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) hlm 82-83.
[22] Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, cet. II, 2003), hlm. 163-165.
[23] Nur un Najwah, hlm. 17.
[24] M. Ali Hasan, hlm 196
[25] M. Ali Hasan, hlm. 196
[26]Nurun Najwah, hlm. 17 dikutip dari Al-Dahlawi, Aujaz al-Masalik ila Muwatta’ MALIK, juz 1,hlm. 23-24

content top